Di Luar Gerbang
Oleh: Elis Tating Bardiah
Apa yang kau tahu dengan kisahku di luar
gerbang? Hariku menambang intan di lautan kendaraan milik orang. Terik mentari
seolah telah menjadi pemanggang langit yang tak mungkin lagi bisa kuhindari.
Demi keluarga dan adik-adikku, masih setia kuisap debu knalpot dan kutaruh
suara di pluit pusaka satu-satunya penyambung hidupku.
****
Pagi
yang selalu cerah dan semangat memompa riak gairah belajar di saat aku disuguhi
pelajaran yang benar-benar mengasyikkan untukku. Pelajaran Bu Aisyah yang
selalu kunantikan. Bu Aisyah tidak hanya mengajarkan bagaimana cara memperoleh
laba yang bonafid dalam sebuah perusahaan namun beliau juga mengajarkan
bagaimana cara memperoleh laba dalam kehidupan yang serbasulit dan sempit
sehingga terasa lebih lapang dan berkah. Salam dan senyumnya selalu mengawali
sapanya kepada murid-murid di saat membuka pintu kelas.
Setelah
memanggil nama semua siswa melalui buku kehadiran, pandangan Bu Aisyah selalu
mencari sesuatu tanda tanya di balik sinar mata siswa-siswinya. Karena mata
adalah satu-satunya jendela jiwa yang paling akurat dalam setiap permasalahan
yang dihadapi. Hingga tatapannya jatuh padaku.
...
......
“Budi!
Boleh Ibu bicara?” Suaranya yang meneduhkan membuatku tak bisa menolak untuk
segera berdiri menuju bangku yang Bu Aisyah sediakan di depan mejanya. “Coba lihat
daftar kehadiranmu, Nak! Setelah Ibu cermati dalam sebulan ini, kamu hanya
masuk empat kali. Itu artinya, kamu masuk hanya sekali dalam seminggu, Dapatkah
kamu menjelaskan pada Ibu kenapa sampai jarang masuk?” Kata-kata itu sudah sering
terlontar dari Wali Kelasku ini. Namun aku jawab seadanya tanpa ada sesuatu
yang kusembunyikan. Perih memang yang kurasa di saat aku harus terus terang,
namun bagaimana lagi? Aku sudah tak berdaya dalam membagi waktu.
****
Bapakku
hanya lulusan SD, jadi wajar jika bekerja hanya sebagai seorang kuli bangunan dengan
penghasilan tak menentu. Tak bisa dipungkiri rasa syukurku karena, walau
penghasilan Bapak tak seberapa, masih bisa membeli beras sebagai penyambung
hidup kami. Itupun kalau ada proyek pembangunan rumah atau gedung.
Ibuku
tak mempunyai keterampilan apa-apa selain membesarkan anak-anaknya di rumah.
Sementara adik-adikku sudah mulai tumbuh, dan tentunya butuh biaya untuk
sekolah.
“Budi! Lihat si Bapak, naha maneh euewuh
kakarunya ka kolot? Ema geus teu sanggup lamun kieu wae mah. Beubeulieun
nararekel, tapi ari duit mah moal anakan.” (1).
Masih terasa bagai cambuk yang mendarat di
punggungku ketika Bapak menatapku setelah mendengar keluhan Ibu akan kebutuhan
hidup yang semakin tak terbeli. Semua harapan tertuju padaku sebagai anak
sulung dari empat bersaudara. Aku adalah tulang punggung untuk keluarga.
Sementara aku pun ingin menyelesaikan sekolah yang hanya setahun setengah lagi
harus aku tuntaskan. Aku punya harapan. Aku ingin masa depanku lebih baik
dibanding Bapak. Setidaknya aku mesti lulus SMA. Hal itu yang selalu membuatku
berontak. Namun aku pun tak tega dengan keadaan keluarga.
Kehidupan
yang layak memang tidak berpihak pada keluargaku. Suatu hari, aku pernah
didaftarkan Ibu pada sebuah panti asuhan yang letaknya tidak begitu jauh dari
tempat tinggalku. Dengan harapan dapat memperingan biaya sekolah. Aku pun
akhirnya terdaftar sebagai anak panti yang mendapat fasilitas postaker, yaitu sebuah fasilitas dari
panti di mana orang yang dibantu tidak tinggal di asrama, tetapi hanya menerima
bantuan berupa biaya untuk sekolah yang biasanya diberikan per bulan. Biaya
yang aku dapat dari panti sebesar seratus ribu rupiah per bulannya, namun
sampai detik ini aku belum pernah menikmati uang pemberian panti itu. Kapan
memberinya dan, tanggal berapa jadwal pemberian bantuan itu, aku tak tahu.
Secara diam-diam ternyata ibuku yang selalu mengambilnya dari panti. Walau
begitui, aku tak membenci Ibu, karena aku memahami akan kebutuhan hidup kami
yang semakin hari semakin melambung tinggi.
****
Setelah
salat Ashar dan mengusap mata yang selalu sembap sehabis berdialog dengan Sang Khalik,
Aku terbiasa merebahkan badan di atas karpet masjid sambil menatap
langit-langit. Aku bergumam. Seandainya ada yang mau menawari aku kerja, aku
tak akan menolaknya. Tapi kerja apa? Sekolah saja aku belum tamat. Lamunanku
akan sebuah pekerjaan terputus, ketika tiba-tiba ada sosok yang menghampiri dan
berseloroh. Setelah aku perhatikan ternyata sosok itu adalah sahabat
sepermainanku yang selalu tahu akan kegundahanku.
“Budi!
Mau gak jadi tukang parkir?”
“Tukang
parkir?” Aku terdiam. Hatiku berkecamuk. Akankah aku bisa membagi waktu antara
sekolah dan pekerjaan? Sementara tukang parkir, walau pekerjaannya tergolong
ringan namun harus full time.
Bagaimana dengan sekolahku nanti? Aku berdialog dengan jiwaku sendiri. Namun
jika tidak kuambil pekerjaan ini, tatapan memelas Ibu dan gurat sedih wajah Bapak
selalu bergelayut di mata ini. Oh.. Tuhan, inikah tangan-Mu yang sengaja kauulur
sebagai jawaban dari doaku melalui sahabatku? Terima kasih, Tuhan.
“Iya!
Kenapa bengong? Aku sungguh-sungguh. Lumayan seribu untuk motor dan dua ribu
untuk mobil. Bukannya kamu kemarin cari pekerjaan? Sudah! Jangan banyak mikir, Ikut
saja!”
Memang letak rumahku berdekatan dengan pasar selain pasar tradisional yang menjual berbagai kebutuhan sehari-sehari juga ada pasar buku, “Palasari”, orang-orang menyebutnya. Pasar buku yang paling banyak diburu para mahasiswa dan guru. Semua jenis buku dijual di sana mulai yang terbaru sampai yang sudah lapuk pun ada. Tempatnya cukup luas. Lumayan kalau sehari ada lima puluh kendaraan yang terparkir dikalikan seribu atau dua ribu bisa membantu Ibu membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Itu yang terbayang dalam benak. Aku sudah tidak memikirkan sekolah lagi.
Setelah
kupikir dalam-dalam, akhirnya tawaran itu aku terima. “Ok! Kapan aku harus
mulai kerja?” jawabku mantap.
“Besok
pagi kamu harus sudah siap di pasar. Biar aku yang akan membicarakannya pada boss,” jawab Rian yang sedari kemarin
menangkap kegelisahanku.
“Siap!
Thank you, Bro! Aku merasa senang
dengan perhatianmu yang begitu besar, sobat.” Kujabat erat tangan Rian.
“Apaan
sih?! Thank you segala. Kita
bersahabat dari kecil. Aku bisa membantumu saja sudah cukup senang.” Rian
menepis tanganku.
Setelah
perbincangan itu, kami berdua berjalan sambil mengenang masa kecil, ketika di
mana-mana masih banyak halaman kosong untuk bermain petak umpet. Namun kini
telah semakin rapat oleh hunian dan pengap dengan hilir mudiknya kendaraan.
Bandung yang dulu dikenal sebagai kota sejuk, kini hampir sama dengan kota
Jakarta. Apalagi kalau sore-sore, jalanan pasti macet dengan orang pulang kerja
dengan kendaraan pribadi.
Di
depan Rumah Sakit kami berpisah.
****
Sudah
hampir sebulan aku melahap asap knalpot dan debu yang tersapu angin kendaraan
lewat. Panas mentari sudah tak kuhirau. Urusan gengsi pun telah aku lempar
jauh-jauh sebagai anak remaja pada umumnya. Aku hanya ingin meringankan beban orang
tua. Itu saja yang ada dalam pikir dan menjadi semangat dalam menikmati
pekerjaanku ini. Menjadi tukang parkir di pasar bukan suatu pekerjaan yang
membuatku harus surut dalam bergaul. Justru dari pekerjaan inilah aku
menghargai hidup, kesederhaan, dan tidak sombong. Banyak temanku dari kalangan
bapak-bapak. Dari merekalah aku mendapat
pelajaran hidup.
Aku
begitu menikmati pekerjaanku. Apalagi sebentar lagi tanggal satu. Aku bakal menerima
gaji pertamaku. Terkadang aku senyum-senyum sendiri ketika membayangkan
lembaran uang itu ada di tanganku sebagai hasil cucuran keringatku sendiri. Dan
di saat aku serahkan kepada Ibu akan terasa rekah lagi senyum Ibu yang beberapa
tahun terakhir ini hilang terhalang oleh kabut kesulitan ekonomi.
Lalu
tiba-tiba aku ingat akan sekolahku. Beberapa hari aku membolos. Bagaimana dengan
tugas-tugas? Pastinya sudah segudang. Ah! Biar besok aku izin kerja untuk
sekedar bertanya tugas-tugas pada teman.
Letak
sekolahku tidak terlalu jauh, kira-kira 400 m dari rumah tinggalku. Aku baru
kelas sebelas pada sebuah SMA yang bernuansa religius. Guru-guru yang mengajar
di sana semuanya baik hati, cuma satu yang selalu membuatku bersitegang. Dia
guru bahasa Inggris. Kuakui aku terlalu banyak membolos, sehingga banyak
pekerjaan rumah darinya yang tak terselesaikan dengan baik. Jadi wajar jika aku
mendapat kemarahannya.
****
Dari
hari ke hari aku seakan terlupa pada seluk-beluk pelajaran sekolah, karena
hampir semua tugas sekolah tertinggal. Aku sudah tak dapat lagi mengelak dari
beban hidup yang semakin membengkak, apalagi di saat aku menikmati pekerjaanku.
Namun
lagi-lagi aku harus meneteskan air mata karena uang yang kudapat dari
pekerjaanku sekarang ludes tak bersisa. Nyamuk bedebah itu! Yang menyebabkan aku
mengidap demam berdarah dan harus terkapar beberapa hari di “hotel” bernama rumah
sakit. Ya! Hotel! Karena bagiku rumah sakit bagaikan hotel di mana aku dilayani
dan disiapkan kamar untuk rehat dari kegaduhan resah yang selama ini selalu
menghantui.
Dalam
rehatku aku merenung dan bergumam. Ya Allah, dapatkah hamba menghela udara
bahagia barang sejenak? Itu yang selalu kugumamkan sehabis salat fardu.
Punggung ini seakan lelah oleh beban yang ada. Ingin rasanya aku lepas dari
semua yang membelenggu. Napasku sesak, Tuhan. Suaraku hampir parau. Aku ingin
seperti anak remaja lainnya. Memiliki handphone.
Memakai baju layaknya remaja masa kini. Dan tentunya dapat menikmati bangku
sekolah secara utuh tanpa berpikir tentang biaya hidup. Astaghfirullah!
Tiba-tiba aku teringat kata-kata wali kelasku yang selalu sabar menasihati.
Seberat apa pun beban hidup tidak luput
dari penglihatan dan rencana-Nya. Jalan hidupmu ini merupakan kehendak Dia,
supaya kamu lebih kuat memaknai hidup. Kamu harus yakin pertolongan Allah pasti datang, asal kamu dapat bersabar
dan tetap bersyukur karena masih bisa menghirup udara-Nya dengan bebas.
Yakinlah! Allah sangat menyayangimu.
Setelah
aku benar-benar sehat. Aku kembali bergumul dengan kendaraan parkiran. Di
tengah lalu lintas kendaraan yang kuparkir, selintas aku menangkap sosok yang
tak asing bagiku. Lalu aku hampiri sosok itu dengan diam-diam. Sosok itu
ternyata teman sekelasku. Sedang apa dia dengan sampah-sampah itu? Sesekali dia
mengorek-ngorek sampah dan memungutnya lalu dimasukkan ke dalam karung yang ditenteng
di punggungnya.
Heru!
Ya, dia Heru teman sebangkuku. Ya Robb, baru saja aku bergumam dengan setiap
keluhanku, sekarang di depan mataku Engkau perlihatkan temanku sendiri tidak
lebih baik dari aku nasibnya. Dia kerja sebagai pemulung sampah. Aku masih
lebih beruntung daripada dia yang harus bersahabat dengan bau sampah yang tak
sedap. Sementara aku hanya meniup peluit dan merapikan kendaraan titipan.
****
Minggu
ini adalah pekan ulangan umum. Aku harus benar-benar libur dari pekerjaan,
karena aku tak ingin tertinggal dengan kesempatan yang satu ini. Selama ulangan
umum aku masuk tanpa absen sehari pun. Namun seminggu sesudahnya aku mengucapkan
selamat tinggal lagi pada sekolah. Apa kabar dengan remedial, aku tak peduli!
Tiba
saatnya pembagian rapor kenaikan kelas. Wali kelas membuka dengan sedikit
pengantar, saran buat siswa-siswinya serta beberapa pengumuman. Satu persatu
nama teman-temanku dipanggil ke depan. Namaku tak kunjung dipanggil. Aku sudah
pasrah. Kemungkinan besar aku tidak naik kelas. Hampir semua pelajaran harus
diulangi karena tidak memenuhi standar ketuntasan dalam belajar. Semua yang
dipanggil kini sudah tak ada di kelas. Mereka sudah pulang dengan kegembiraan
di wajah masing-masing karena nilai yang memuaskan.
“Budii!”
Namaku dipanggil paling akhir bersama beberapa teman yang bermasalah. Sengaja
disisakan. Termasuk Heru. Beberapa teman lain hanya bermasalah dengan nilai saja,
sementara kehadiran tidak jadi soal. Dan setelah mendapat tugas yang harus
dikerjakan, mereka diperbolehkan pulang. Sementara aku dan Heru masih harus
menunggu.
“Budi
dan Heru. Ibu telah mengetahui permasalahan kalian. Namun tidak lantas sekolah
jadi nomor dua apalagi nomor tiga. Ingat! Kamu masih sangat muda untuk tetap
berkarya. Kalau seandainya masih bisa menyiasati waktu dalam bekerja, Insya
Allah kamu akan tetap bisa bersekolah asal kalian punya kesungguhan untuk
belajar. Ibu telah minta kebijakan kepada Kepala Sekolah untuk tetap menaikkan
kalian ke tingkat selanjutnya, dengan syarat, kalian harus sanggup menuntaskan
nilai-nilai yang masih harus diperbaiki. Dan untuk kamu, Budi! Kepala Sekolah
telah menyetujui membebaskanmu dari SPP dan pungutan lainnya asal orangtuamu
menemui Kepala Sekolah sebelum liburan berakhir.”
“Bu!
Budi bukannya tidak ingin sekolah. Namun Budi bingung, harus bagaimana?
Adik-adik Budi tahun ini semua masuk sekolah. Yang bungsu masuk SD, yang ke-3
masuk SMP, dan yang ke-2 masuk SMA. Dari mana biaya itu semua kalau bukan dari Budi
yang harus bekerja keras? Yang pastinya sangat berpengaruh pada sekolah Budi.
Karena kemungkinan besar Budi harus jaga parkiran sepenuh hari. Mengandalkan
dari penghasilan Bapak, itu sangat tidak mungkin.”
****
Masa
liburan telah usai. Dalam daftar hadir yang telah dicetak untuk kelas XII, petugas tata usaha tak mencantumkan nama Budi.
****
Bandung, 23 Agustus 2010
Bandung, 23 Agustus 2010
Catatan kaki:
Naha maneh euewuh kakarunya ka kolot?
Ema geus teu sanggup lamun kieu wae mah. Beubeulieun nararekel, tapi ari duit
mah moal anakan.” (1).
Apa
kamu tidak kasihan pada orangtua? Ibu sudah tak sanggup kalau seperti ini
terus. Harga kebutuhan semakin naik, tapi yang namanya uang tak akan beranak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar