Sebagian Karyaku

Sebagian Karyaku
Hasil Goresan dari tahun 2010-2013

Ruang Singgah

Ruang tempat persinggahan imaji, mencari arti sunyi yang tersembunyi dalam diri demi meniti Cinta-Nya

Minggu, 28 Oktober 2012

Hampir Sebuah Metafora

Dalam album cerita ini ada cerpenku, berjudul : "Di Luar Gerbang"



Di Luar Gerbang
Oleh: Elis Tating Bardiah


Apa yang kau tahu dengan kisahku di luar gerbang? Hariku menambang intan di lautan kendaraan milik orang. Terik mentari seolah telah menjadi pemanggang langit yang tak mungkin lagi bisa kuhindari. Demi keluarga dan adik-adikku, masih setia kuisap debu knalpot dan kutaruh suara di pluit pusaka satu-satunya penyambung hidupku.
****

Pagi yang selalu cerah dan semangat memompa riak gairah belajar di saat aku disuguhi pelajaran yang benar-benar mengasyikkan untukku. Pelajaran Bu Aisyah yang selalu kunantikan. Bu Aisyah tidak hanya mengajarkan bagaimana cara memperoleh laba yang bonafid dalam sebuah perusahaan namun beliau juga mengajarkan bagaimana cara memperoleh laba dalam kehidupan yang serbasulit dan sempit sehingga terasa lebih lapang dan berkah. Salam dan senyumnya selalu mengawali sapanya kepada murid-murid di saat membuka pintu kelas.

Setelah memanggil nama semua siswa melalui buku kehadiran, pandangan Bu Aisyah selalu mencari sesuatu tanda tanya di balik sinar mata siswa-siswinya. Karena mata adalah satu-satunya jendela jiwa yang paling akurat dalam setiap permasalahan yang dihadapi. Hingga tatapannya jatuh padaku.
...
...

“Budi! Boleh Ibu bicara?” Suaranya yang meneduhkan membuatku tak bisa menolak untuk segera berdiri menuju bangku yang Bu Aisyah sediakan di depan mejanya. “Coba lihat daftar kehadiranmu, Nak! Setelah Ibu cermati dalam sebulan ini, kamu hanya masuk empat kali. Itu artinya, kamu masuk hanya sekali dalam seminggu, Dapatkah kamu menjelaskan pada Ibu kenapa sampai jarang masuk?” Kata-kata itu sudah sering terlontar dari Wali Kelasku ini. Namun aku jawab seadanya tanpa ada sesuatu yang kusembunyikan. Perih memang yang kurasa di saat aku harus terus terang, namun bagaimana lagi? Aku sudah tak berdaya dalam membagi waktu.
****

Bapakku hanya lulusan SD, jadi wajar jika bekerja hanya sebagai seorang kuli bangunan dengan penghasilan tak menentu. Tak bisa dipungkiri rasa syukurku karena, walau penghasilan Bapak tak seberapa, masih bisa membeli beras sebagai penyambung hidup kami. Itupun kalau ada proyek pembangunan rumah atau gedung. 

Ibuku tak mempunyai keterampilan apa-apa selain membesarkan anak-anaknya di rumah. Sementara adik-adikku sudah mulai tumbuh, dan tentunya butuh biaya untuk sekolah.
“Budi! Lihat si Bapak, naha maneh euewuh kakarunya ka kolot? Ema geus teu sanggup lamun kieu wae mah. Beubeulieun nararekel, tapi ari duit mah moal anakan.” (1).

 Masih terasa bagai cambuk yang mendarat di punggungku ketika Bapak menatapku setelah mendengar keluhan Ibu akan kebutuhan hidup yang semakin tak terbeli. Semua harapan tertuju padaku sebagai anak sulung dari empat bersaudara. Aku adalah tulang punggung untuk keluarga. Sementara aku pun ingin menyelesaikan sekolah yang hanya setahun setengah lagi harus aku tuntaskan. Aku punya harapan. Aku ingin masa depanku lebih baik dibanding Bapak. Setidaknya aku mesti lulus SMA. Hal itu yang selalu membuatku berontak. Namun aku pun tak tega dengan keadaan keluarga.

Kehidupan yang layak memang tidak berpihak pada keluargaku. Suatu hari, aku pernah didaftarkan Ibu pada sebuah panti asuhan yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Dengan harapan dapat memperingan biaya sekolah. Aku pun akhirnya terdaftar sebagai anak panti yang mendapat fasilitas postaker, yaitu sebuah fasilitas dari panti di mana orang yang dibantu tidak tinggal di asrama, tetapi hanya menerima bantuan berupa biaya untuk sekolah yang biasanya diberikan per bulan. Biaya yang aku dapat dari panti sebesar seratus ribu rupiah per bulannya, namun sampai detik ini aku belum pernah menikmati uang pemberian panti itu. Kapan memberinya dan, tanggal berapa jadwal pemberian bantuan itu, aku tak tahu. Secara diam-diam ternyata ibuku yang selalu mengambilnya dari panti. Walau begitui, aku tak membenci Ibu, karena aku memahami akan kebutuhan hidup kami yang semakin hari semakin melambung tinggi.
****

Setelah salat Ashar dan mengusap mata yang selalu sembap sehabis berdialog dengan Sang Khalik, Aku terbiasa merebahkan badan di atas karpet masjid sambil menatap langit-langit. Aku bergumam. Seandainya ada yang mau menawari aku kerja, aku tak akan menolaknya. Tapi kerja apa? Sekolah saja aku belum tamat. Lamunanku akan sebuah pekerjaan terputus, ketika tiba-tiba ada sosok yang menghampiri dan berseloroh. Setelah aku perhatikan ternyata sosok itu adalah sahabat sepermainanku yang selalu tahu akan kegundahanku.

“Budi! Mau gak jadi tukang parkir?”
“Tukang parkir?” Aku terdiam. Hatiku berkecamuk. Akankah aku bisa membagi waktu antara sekolah dan pekerjaan? Sementara tukang parkir, walau pekerjaannya tergolong ringan namun harus full time. Bagaimana dengan sekolahku nanti? Aku berdialog dengan jiwaku sendiri. Namun jika tidak kuambil pekerjaan ini, tatapan memelas Ibu dan gurat sedih wajah Bapak selalu bergelayut di mata ini. Oh.. Tuhan, inikah tangan-Mu yang sengaja kauulur sebagai jawaban dari doaku melalui sahabatku? Terima kasih, Tuhan.

“Iya! Kenapa bengong? Aku sungguh-sungguh. Lumayan seribu untuk motor dan dua ribu untuk mobil. Bukannya kamu kemarin cari pekerjaan? Sudah! Jangan banyak mikir, Ikut saja!”

Memang letak rumahku berdekatan dengan pasar selain pasar tradisional yang menjual berbagai kebutuhan sehari-sehari juga ada pasar buku, “Palasari”, orang-orang menyebutnya. Pasar buku yang paling banyak diburu para mahasiswa dan guru. Semua jenis buku dijual di sana mulai yang terbaru sampai yang sudah lapuk pun ada. Tempatnya cukup luas. Lumayan kalau sehari ada lima puluh kendaraan yang terparkir dikalikan seribu atau dua ribu bisa membantu Ibu membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Itu yang terbayang dalam benak. Aku sudah tidak memikirkan sekolah lagi.

Setelah kupikir dalam-dalam, akhirnya tawaran itu aku terima. “Ok! Kapan aku harus mulai kerja?” jawabku mantap.

“Besok pagi kamu harus sudah siap di pasar. Biar aku yang akan membicarakannya pada boss,” jawab Rian yang sedari kemarin menangkap  kegelisahanku. 

“Siap! Thank you, Bro! Aku merasa senang dengan perhatianmu yang begitu besar, sobat.” Kujabat erat tangan Rian. 

“Apaan sih?! Thank you segala. Kita bersahabat dari kecil. Aku bisa membantumu saja sudah cukup senang.” Rian menepis tanganku. 

Setelah perbincangan itu, kami berdua berjalan sambil mengenang masa kecil, ketika di mana-mana masih banyak halaman kosong untuk bermain petak umpet. Namun kini telah semakin rapat oleh hunian dan pengap dengan hilir mudiknya kendaraan. Bandung yang dulu dikenal sebagai kota sejuk, kini hampir sama dengan kota Jakarta. Apalagi kalau sore-sore, jalanan pasti macet dengan orang pulang kerja dengan kendaraan pribadi. 

Di depan Rumah Sakit kami berpisah.
****

Sudah hampir sebulan aku melahap asap knalpot dan debu yang tersapu angin kendaraan lewat. Panas mentari sudah tak kuhirau. Urusan gengsi pun telah aku lempar jauh-jauh sebagai anak remaja pada umumnya. Aku hanya ingin meringankan beban orang tua. Itu saja yang ada dalam pikir dan menjadi semangat dalam menikmati pekerjaanku ini. Menjadi tukang parkir di pasar bukan suatu pekerjaan yang membuatku harus surut dalam bergaul. Justru dari pekerjaan inilah aku menghargai hidup, kesederhaan, dan tidak sombong. Banyak temanku dari kalangan bapak-bapak.  Dari merekalah aku mendapat pelajaran hidup.  
Aku begitu menikmati pekerjaanku. Apalagi sebentar lagi tanggal satu. Aku   bakal menerima gaji pertamaku. Terkadang aku senyum-senyum sendiri ketika membayangkan lembaran uang itu ada di tanganku sebagai hasil cucuran keringatku sendiri. Dan di saat aku serahkan kepada Ibu akan terasa rekah lagi senyum Ibu yang beberapa tahun terakhir ini hilang terhalang oleh kabut kesulitan ekonomi.

Lalu tiba-tiba aku ingat akan sekolahku. Beberapa hari aku membolos. Bagaimana dengan tugas-tugas? Pastinya sudah segudang. Ah! Biar besok aku izin kerja untuk sekedar bertanya tugas-tugas pada teman. 

Letak sekolahku tidak terlalu jauh, kira-kira 400 m dari rumah tinggalku. Aku baru kelas sebelas pada sebuah SMA yang bernuansa religius. Guru-guru yang mengajar di sana semuanya baik hati, cuma satu yang selalu membuatku bersitegang. Dia guru bahasa Inggris. Kuakui aku terlalu banyak membolos, sehingga banyak pekerjaan rumah darinya yang tak terselesaikan dengan baik. Jadi wajar jika aku mendapat kemarahannya.
****

Dari hari ke hari aku seakan terlupa pada seluk-beluk pelajaran sekolah, karena hampir semua tugas sekolah tertinggal. Aku sudah tak dapat lagi mengelak dari beban hidup yang semakin membengkak, apalagi di saat aku menikmati pekerjaanku. 

Namun lagi-lagi aku harus meneteskan air mata karena uang yang kudapat dari pekerjaanku sekarang ludes tak bersisa. Nyamuk bedebah itu! Yang menyebabkan aku mengidap demam berdarah dan harus terkapar beberapa hari di “hotel” bernama rumah sakit. Ya! Hotel! Karena bagiku rumah sakit bagaikan hotel di mana aku dilayani dan disiapkan kamar untuk rehat dari kegaduhan resah yang selama ini selalu menghantui. 

Dalam rehatku aku merenung dan bergumam. Ya Allah, dapatkah hamba menghela udara bahagia barang sejenak? Itu yang selalu kugumamkan sehabis salat fardu. Punggung ini seakan lelah oleh beban yang ada. Ingin rasanya aku lepas dari semua yang membelenggu. Napasku sesak, Tuhan. Suaraku hampir parau. Aku ingin seperti anak remaja lainnya. Memiliki handphone. Memakai baju layaknya remaja masa kini. Dan tentunya dapat menikmati bangku sekolah secara utuh tanpa berpikir tentang biaya hidup. Astaghfirullah! Tiba-tiba aku teringat kata-kata wali kelasku yang selalu sabar menasihati. 

Seberat apa pun beban hidup tidak luput dari penglihatan dan rencana-Nya. Jalan hidupmu ini merupakan kehendak Dia, supaya kamu lebih kuat memaknai hidup. Kamu harus yakin pertolongan Allah pasti datang, asal kamu dapat bersabar dan tetap bersyukur karena masih bisa menghirup udara-Nya dengan bebas. Yakinlah! Allah sangat menyayangimu.

Setelah aku benar-benar sehat. Aku kembali bergumul dengan kendaraan parkiran. Di tengah lalu lintas kendaraan yang kuparkir, selintas aku menangkap sosok yang tak asing bagiku. Lalu aku hampiri sosok itu dengan diam-diam. Sosok itu ternyata teman sekelasku. Sedang apa dia dengan sampah-sampah itu? Sesekali dia mengorek-ngorek sampah dan memungutnya lalu dimasukkan ke dalam karung yang ditenteng di punggungnya.

Heru! Ya, dia Heru teman sebangkuku. Ya Robb, baru saja aku bergumam dengan setiap keluhanku, sekarang di depan mataku Engkau perlihatkan temanku sendiri tidak lebih baik dari aku nasibnya. Dia kerja sebagai pemulung sampah. Aku masih lebih beruntung daripada dia yang harus bersahabat dengan bau sampah yang tak sedap. Sementara aku hanya meniup peluit dan merapikan kendaraan titipan.
****

Minggu ini adalah pekan ulangan umum. Aku harus benar-benar libur dari pekerjaan, karena aku tak ingin tertinggal dengan kesempatan yang satu ini. Selama ulangan umum aku masuk tanpa absen sehari pun. Namun seminggu sesudahnya aku mengucapkan selamat tinggal lagi pada sekolah. Apa kabar dengan remedial, aku tak peduli!

Tiba saatnya pembagian rapor kenaikan kelas. Wali kelas membuka dengan sedikit pengantar, saran buat siswa-siswinya serta beberapa pengumuman. Satu persatu nama teman-temanku dipanggil ke depan. Namaku tak kunjung dipanggil. Aku sudah pasrah. Kemungkinan besar aku tidak naik kelas. Hampir semua pelajaran harus diulangi karena tidak memenuhi standar ketuntasan dalam belajar. Semua yang dipanggil kini sudah tak ada di kelas. Mereka sudah pulang dengan kegembiraan di wajah masing-masing karena nilai yang memuaskan.

“Budii!” Namaku dipanggil paling akhir bersama beberapa teman yang bermasalah. Sengaja disisakan. Termasuk Heru. Beberapa teman lain hanya bermasalah dengan nilai saja, sementara kehadiran tidak jadi soal. Dan setelah mendapat tugas yang harus dikerjakan, mereka diperbolehkan pulang. Sementara aku dan Heru masih harus menunggu. 

“Budi dan Heru. Ibu telah mengetahui permasalahan kalian. Namun tidak lantas sekolah jadi nomor dua apalagi nomor tiga. Ingat! Kamu masih sangat muda untuk tetap berkarya. Kalau seandainya masih bisa menyiasati waktu dalam bekerja, Insya Allah kamu akan tetap bisa bersekolah asal kalian punya kesungguhan untuk belajar. Ibu telah minta kebijakan kepada Kepala Sekolah untuk tetap menaikkan kalian ke tingkat selanjutnya, dengan syarat, kalian harus sanggup menuntaskan nilai-nilai yang masih harus diperbaiki. Dan untuk kamu, Budi! Kepala Sekolah telah menyetujui membebaskanmu dari SPP dan pungutan lainnya asal orangtuamu menemui Kepala Sekolah sebelum liburan berakhir.”

“Bu! Budi bukannya tidak ingin sekolah. Namun Budi bingung, harus bagaimana? Adik-adik Budi tahun ini semua masuk sekolah. Yang bungsu masuk SD, yang ke-3 masuk SMP, dan yang ke-2 masuk SMA. Dari mana biaya itu semua kalau bukan dari Budi yang harus bekerja keras? Yang pastinya sangat berpengaruh pada sekolah Budi. Karena kemungkinan besar Budi harus jaga parkiran sepenuh hari. Mengandalkan dari penghasilan Bapak, itu sangat tidak mungkin.”
****

Masa liburan telah usai. Dalam daftar hadir yang telah dicetak untuk kelas XII,  petugas tata usaha tak mencantumkan nama Budi.
****
                                                                    
                                         Bandung, 23 Agustus 2010

Catatan kaki:
Naha maneh euewuh kakarunya ka kolot? Ema geus teu sanggup lamun kieu wae mah. Beubeulieun nararekel, tapi ari duit mah moal anakan.” (1).
Apa kamu tidak kasihan pada orangtua? Ibu sudah tak sanggup kalau seperti ini terus. Harga kebutuhan semakin naik, tapi yang namanya uang tak akan beranak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar