Apabila
kita tengok kurikulum SD sekarang dengan kurikulum dulu yang masih menggunakan
GBPP (Garis Besar Pedoman Pengajaran) dengan sekarang yang sudah berbasis pada
satuan pendidikan (KTSP) di mana kurikulum disesuaikan dengan kemampuan sekolah
dalam mengelola pendidikan. Sungguh sangat jauh sekali muatan yang ada di
dalamnya. Masih teringat betul ketika saya mengenal jenis kata Noun atau kata benda yang saya dapatkan
kelas 1 SMP. Sekarang pelajaran itu sudah mereka kenal sejak kelas 1 SD bahkan
mungkin usia TK. Bab Pecahan pada Matematika, Bab Sistem Perkembangbiakan pada
IPA, Bab Sifat-sifat Allah pada PAI sudah dikenal anak SD kelas 3 sementara
saya dulu memperoleh pelajaran itu pada kelas 1 SMP.
Sungguh
banyak lompatan-lompatan yang diambil pemerintah untuk menjejali anak dengan
kurikulum raksasa yang sebenarnya belum saatnya mereka terima. Usia SD kelas
1-3 sebenarnya masih tahap pengenalan bentuk-bentuk yang seharusnya anak masih
diberi kelonggaran untuk mengasah psikomotorik halusnya bukannya memaksakan
area kognitif yang sesungguhnya mereka sebenarnya belum siap untuk menerimanya...
Dengan
tingkat kesukaran yang sedemikian rupa mereka juga harus dihadapkan pada
serangkaian tugas yang mau tak mau harus mereka kerjakan untuk memenuhi KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal). Sementara usia mereka jika kita perhatikan, di
sekolah swasta tak lah sama dengan sekolah negeri yang terkadang masih saja ada
usia di bawah standar (usia yang dipaksakan masuk SD padahal sebenarnya belum
layak masuk SD).
Mungkin
selama ini kita tak mau ambil pusing dengan permasalahan kurikulum, yang
penting kita sebagai orangtua menginginkan anaknya punya prestasi tanpa melihat
apa yang sebenarnya anak butuhkan. Sebagai orangtua, apakah kita sudah bijak,
terlalu banyak menuntut anak sesuai dengan yang kita inginkan? Apakah kita
pernah bercermin, apakah kita tidak terlalu ego? Mari kita sama-sama membenahi
diri dengan mencari solusi, mengingat anak adalah investasi kita di akhir kelak.
Lalu,
bagaimana cara menyiasatinya supaya anak tidak menjadi korban dari kurikulum yang
justru membuat anak kerdil dalam berimajinasi.
1.
Berilah
anak ruang untuk berekspresi
Dunia anak adalah dunia
berimajinasi, dunia yang penuh fantasi. Biarkan ia melangitkan
cita-citanya melalui kesukaannya. Jika
anak kita suka dengan game biarkan ia untuk mengeksplorasi dunia gamenya asal
jangan lepas kontrol yaitu dengan memilihkan game yang sesuai dengan batasan
umurnya. Jika anak sukanya menari atau
bernyanyi biarkan ia mendengarkan musik yang ia sukai atau mungkin masukkan ke
salah satu sanggar/klub khusus penari. Hal tersebut selain akan mengurangi
beban yang ada dengan tugas-tugas sekolah juga dapat mengembangkan daya
imajinasi yang sekaligus akan merangsang kecerdasan emosinya.
2.
Berilah
anak kepercayaan untuk melakukan kewajibannya
Dengan memberinya kepercayaan
akan menumbuhkan kemandirian pada diri anak, namun jangan begitu saja lepas
kontrol, anak tetap diingatkan sudah tidaknya mengerjakan apa yang seharusnya
menjadi tanggung jawabnya.
3.
Mengingatkan,
bukan memaksa (ajak berkomunikasi)
Jika suatu saat anak kita
mendapat tugas kita sebagai orangtua tetap harus mengingatkan namun ingat tidak
melibatkan unsur memaksa apalagi sampai melakukan kekerasan. Ajaklah berbicara,
jika anak merasa terbebani dengan tugas-tugas yang ada.
4.
Mengajari
mereka sesuai dengan cara belajar mereka.
Ada tiga tipe cara belajar: a) Audio (dengan cara mendengar) b) Visual (dengan cara melihat) c). Audio Visual dengan mendengar dan
melihat. Perhatikanlah anak kita, lebih cenderung yang mana dalam menyerap
setiap pelajaran. Maka sesuaikanlah dengan cara belajarnya.
5.
Jauhkan
dari label “bodoh” atau “malas”
Jangan sekali-kali anak kita
beri label bodoh, jika suatu saat ketika kita ajari anak tidak cepat menangkap
apa yang kita sampaikan. Karena bisa jadi metode belajar yang kita terapkan
tidak sesuai dengan cara belajarnya. Dan jauhkanlah dari kata-kata “dasar
malas”, karena secara tak sadar kita telah membentuk karakter tersebut pada
diri anak.
6.
Berilah
penghargaan (reward) jminimal pujian
atau sebuah pelukan hangat.
Apabila anak kita telah
menyelesaikan tanggungjawabnya berilah penghargaan minimal sebuah pujian atau
pelukan hangat, karena hal tersebut selain merasa dihargai anak juga akan
terdorong motivasinya, sehingga untuk ke depannya akan selalu ingin memberikan
yang terbaik dalam kehidupannya.
7.
Bekerjasama
dengan pihak sekolah
Hal ini sangat penting untuk
melihat perkembangan anak dalam hal kemampuannya dalam menyerap setiap
pelajaran, mau pun perkembangan sikap (attitude) secara psikologis.
Mari, sayangi anak kita dengan
cara yang tepat.
By: Lis
Bdg, 23 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar