Angkot Biru (Part One)
Udara Kota Bandung di pagi itu terhangatkan oleh pelukan sinar mentari yang baru saja menggeliat terbangun dari peraduannya, jalanan terasa lengang terlihat beberapa orang sedang melakukan aktivitas kesehariannya. Anak-anak sekolah dan pegawai kantoran sudah mulai berseliweran untuk memulai hariannya.
Dengan mengucap “Bismillahi tawakaltu alallaah..” Kupacu langkahku menuju sebuah terminal dimana aku dan sahabatku terbiasa menggunakan salah satu angkutan umum sebagai pengantar setia untuk sampai di sekolahku. Angkutan umum ini pula yang mengantarku ke tempat PSG (Program Sistem Ganda) yaitu salah satu program lapangan yang harus diikuti oleh siswa-siswi SMK di Instansi-instansi/industri
Tiba-tiba ada angkutan nyelonong di depanku masih kosong lagi! Siapa yang tak senang..orang-orang berebut, ini datang dengan sendirinya. “Hemm..alhamdulillaah..” akhirnya dapat juga angkutan yang masih kosong. Sudah menjadi kebiasaanku mencari tempat duduk paling sudut di bagian belakang, karena menurutku tempat itulah yang paling nyaman bagiku selain bisa melihat jalanan juga bisa sambil merem melek alias nundutan(1) (berngantuk ria). Setelah dirasa penuh dengan penumpang, angkot itu akhirnya melaju. sepanjang perjalanan aku terbiasa memandang jalanan yang penuh dengan hilir mudiknya kendaraan, ditengah keasyikanku menikmati pemandangan jalan raya, tiba-tiba terdengar agak sayup suara seorang pemuda bertanya waktu kepada sahabatku.
”Dik, maaf ..jam berapa ya, sekarang?” Pemuda itu bertanya.
“Jam 06.15, Mas”. Terdengar suara sahabatku menjawab. Sesaat pemuda itu mengucapkan terimakasih, tetapi tiba-tiba muncul lagi pertanyaan kepada sahabatku.
“Sekolah dimana, yah?”. “Di SMK Negeri 3 “ jawab, sahabatku .
“Ooooo..” sahut pemuda itu. Sahabatku balik bertanya, “Mas tahu SMKN 3?”.
“Nggak..” katanya sambil menggelengkan kepala.
Mendengar jawaban yang menggelikan ,waktu itu aku sontak tersenyum dengan nada sedikit mengejek dalam hati. “Aneh! katanya , O.. tapi koq nggak tahu.” Ternyata senyumanku itu sempat dilirik pemuda itu, dan sempat beradu pandang, “deg! hatiku berdegup walau sesaat. Hening sejenak, namun tiba-tiba pemuda itu mohon pamit karena mesti turun tepatnya di depan sebuah kampus, yang terletak di pertigaan jalan Karapitan.
Setelah pemuda itu turun, sahabatku mulai berkomentar dengan penampilan pemuda tadi.
“Na, bagaimana pendapatmu mengenai pemuda tadi?” keren..yah?” kata sahabatku.
Aku menjawab sambil nyengir. “Apa? Keren..? Ih… jerawatan begitu…kok..dibilang keren!” hi.. hi.. hi…” kami ketawa ketiwi sambil sesekali melirik ke arah pemuda yang barusan turun.
Walau ucapanku seperti itu namun hati gak mengingkari memang iya sih.. waktu pemuda itu turun sempat juga aku memperhatikannya walau sekilas.
***
Senja itu Mulai Memerah (Part Two)
Adzan Ashar telah berkumandang kubergegas mandi dan berwudlu. Setelah selesai sholat Ashar aku bersiap-siap pergi ke tempat biasa aku mengajar mengaji di sebuah TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku.
Sesampainya di Madrasah anak-anak sudah berkumpul mereka sudah terbiasa kalau aku datang langsung berbaris untuk mengucapkan Ikrar Santri, mereka sudah hapal betul dengan posisinya mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi berbaris sangat rapi. Setelah Ikrar Santri selesai dibaca aku periksa kerapian dan kebersihan mereka satu persatu.
Aku sangat menikmati aktivitas yang satu ini karena selain beribadah mengajarkan ilmu agama juga aku dapat mengenal berbagai karakter anak, mulai dari yang manja, jahil, pendiam, pemarah, periang, yang susah diatur, beragam sekali karakter mereka. Itu merupakan ilmu bagiku..Subhanallaah…
Tak terasa waktupun telah menunjukkan jam 17.30, saatnya berbenah pulang. Setelah mengakhiri dengan do’a, akupun pulang.
Dengan gontai aku pulang di tengah perjalanan aku paling suka menikmati suasana sore, lembayung saat itu mulai mengambang di arah barat dia memancarkan cahaya merah kemuning keemasan terhuyung ditelan gunung sorepun beranjak menuju peraduan malam. Sayup-sayup adzan maghrib berkumandang tampak jelas terdengar. Setelah kuseberangi jalan aku sempat berpapasan dengan seorang pemuda, yang kagetnya dia tiba-tiba menyapaku dengan ucapan salam.
“Assalamu a’laikum .. “ sapanya.
“Wa’alaikumus salam…”jawabku sambil berlalu.
Namun Pemuda itu seperti yang memang sudah sejak dari tadi memperhatikan aku, sebelum kuberanjak pemuda tadi bertanya kembali.
“Maaf, kalau gak salah… adik yang tadi pagi satu angkot, yah..?” katanya memecah suasana.
Sesaat aku kaget dan kuhentikan langkahku, kuperhatikan wajahnya untuk memastikan bahwa memang pernah bertemu. “Oo..” dalam hati aku baru ingat, dia itu kan yang tadi pagi ketemu di angkot dan sempat aku komentari bersama sahabatku.
Aku tersenyum, sambil menganggukkan kepala secara perlahan.
“Memangnya Mas tinggal dimana dan mau kemana..?”. Sontak aku memanggilnya Mas karena dialeknya itu mirip orang suku Jawa.
“Oh..aku ngekos di daerah sini, dan mau sholat di Masjid Agung..sana". Sahutnya. Tangannya menunjukkan ke arah masjid yang memang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri. Saat itu iqomat sudah melantun kamipun sepakat mengakhiri pertemuan.
Perjalanan kulanjutkan menuju rumah. Sekitar 15 m aku melangkah, seolah ada yang mengejarku kutoleh ke belakang memang pemuda tadi, aku heran ada apa lagi nih orang..?
“Eh! maaf ada yang lupa, namanya siapa..yah?”
“Aina...“ Kalau Mas?”
“Abi”. Jawabnya.
“Boleh tahu rumahnya dimana?” Pemuda itu bertanya kembali.
Dengan polosnya aku jawab tapi tidak sejelasnya.
“Di dekat mesjid, dan ada lapangannya…nggak jauh dari sini kok..” Jawabku polos.
“Oh.. begitu ya..? masih daerah sini...? Terima kasih...atas perkenalannya.. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumus salam…”
***
yaya....inilah kisahnya ....
BalasHapusoh jadi namanya Aina...ehheee