Sebagian Karyaku

Sebagian Karyaku
Hasil Goresan dari tahun 2010-2013

Ruang Singgah

Ruang tempat persinggahan imaji, mencari arti sunyi yang tersembunyi dalam diri demi meniti Cinta-Nya

Sabtu, 27 Maret 2010

Part 5

#Muara kedekatan hati ada di TPA#

Selama menunggu pengumuman, Abi sering membantuku mengajar di TPA. Bahkan pemilik Yayasanpun memberikan amanah untuk menjaga TPA dan Masjid dengan menyerahkan kunci dan sebuah kamar tinggal disamping rumah pemilik Yayasan.

Pemilik yayasan adalah salah satu tokoh masyarakat yang berpuluh tahun yang lalu adalah seorang wedana di tempat tinggalku, selain wedana beliau juga salah satu pembimbing majelis ta’lim termasuk ibuku di dalamnya. Setelah wafat, isterinyalah yang melanjutkan amanah peninggalannya sampai sekarang.

Setiap kali kubuka pintu gerbang TPA, selalu aku dapati Abi telah membariskan anak-anak. Abi ini orangnya kreatif ketika masuk ke kelas anak-anak diberi yel-yel sebuah slogan kuis salah satu merk sabun di televisi, yaitu “tok-tok..wow”. Anak-anakpun begitu antusias dan sangat menyukainya.

TPA serasa milik berdua, karena teman yang biasa mengajar sedang libur. Sebenarnya pengelola yayasan itu ada empat orang, dua akhwat dan dua ikhwan. Selain aku dan Abi ada dua orang lagi, salah satunya telah berkeluarga beliau sering dipanggil Bu Hani. Bu Hani telah lama mengajar di TPA ini. Dan yang satunya lagi adalah mahasiswa tingkat satu yang baru masuk di Universitas Islam Negeri Gunung Djati, Haedar namanya usianya terpaut dua tahun lebih tua dariku. Sedangkan dengan Abi hanya beda satu tahun.

TPA ini adalah almamater tempat mengaji di masa kecilku, namanya dulu MDA (Madarasah Diniyah Al-Islamiyah). Seiring dengan perkembangan kurikulum namanya juga ikut berkembang jadi TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) sesuai muatannya yaitu Iqro. Guru-gurunya kini telah sukses dan berkeluarga, yang melanjutkan adalah alumni-alumninya.

TPA ini terdiri dari dua bangunan, satu bangunan untuk kantor dan satu lagi untuk proses Kegiatan Belajar Mengajar. Yang terdiri dari dua kelas antara kelas hanya disekat oleh sketsel terbuat dari triplek yang suatu saat bisa dibongkar pasang. Diantara celah sketsel aku merasa ada sepasang mata yang sedang memperhatikanku, siapa lagi kalau bukan Abi sang pemiliknya. Keasyikanku dalam mengajari iqro tak sempat aku sambut tatapannya, tapi walau begitu mata hatiku dapat menangkapnya.

Kedekatan kami pun tidak terelakkan di hati kami ada semacam keterikatan walau tak pernah diungkapkan kami saling mengerti dari sikap dan perhatiannya. Dan aku yakin memang abi telah menyukai aku dari sejak pertemuan pertama, ini terbukti dengan kecemburuannya terhadap teman mengajarku di TPA, dia seorang ikhwan yang katanya sering bercerita tentang aku. Yang pada suatu kesempatan Abi pernah berseloroh padaku,

“Na, aku gak suka sama Haedar”.

“Ya..jelas aku benci, malah sempat panas hati ini mendidih hingga ubun-ubunku panas dan mengundang tanganku untuk meninjunya. Apa dia tidak tahu kalau sebenarnya aku suka sama kamu, masa di depanku dia bilang”:

“bi, Teh Aina geulis nya…?”.

“Ya.. Mas ini dikira kenapa sampai panasnya hati naik ke ubun-ubun, biarin saja emang kenapa kalau ada orang seperti itu?”

“Kamu ini, ya.. jelas aku cemburu!”

“Ngomong aja, cemburu! Gak mesti, muter-muter.”

“Ini anak bukannya seneng dicemburuin, malah ceramah.”

Diantara kami mempunyai kesukaan yang sama yaitu suka menulis puisi. Sempat pada suatu sore di saat aku hendak pulang Abi mengejarku sekedar memberikan sebuah buku note, yang sesampainya di rumah hati ini tak sabar untuk segera membukanya, isi dari note itu diantaranya arti dari Q.S. An-Naziat (Malaikat-malaikat yang mencabut).

Malaikat-malaikat yang mencabut

Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras
dan malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan lemah lembut
dan malaikat-malaikat yang turun dari langit degan cepat
dan malaikat-malaikat yang mendahului dengan kencang
dan malaikat-malaikat yang mengatur urusan dunia
sesungguhnya kamu akan dibangkitkan pada hari ketika tiupan pertama mengguncangkan alam
tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua
hati manusia pada waktu itu sangat takut
pandangannya tunduk
orag-orang kafir berkata "Apakah sesungguhnya kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan yang semula?"
"apakah kami akan dibangkitkan juga apabila kami telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat?"
Mereka berkata: Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang merugikan."
Sesungguhnya pengembalian itu hanya dengan satu kali tiupan saja
maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi." (Q.S An-Nazi'at:1-14).


Selain itu ada beberapa puisi yang mengilustrasikan isi hatinya tanpa terlepas dari bingkaian aqidah yang kental melekat pada pribadinya, dan itulah yang aku suka darinya. Dan yang selanjutnya Abi pernah menuliskan dua buah lagu dari Katon Bagaskara "Negeri di Awan dan Cinta Putih".

Note putih itu jadi tanda hati pertama dari Abi, yang sesekali jadi tempat tukar tulisan khususnya puisi.

***

#Cincin Pengikat Hati#

Hari yang mengharukanpun harus terjadi. Mungkin karena desakan orangtua, Abi terpaksa harus pulang ke kampung halamannya di seberang nan jauh di sana kota yang terkenal dengan makanan khas empe-empenya, yaitu Palembang.

Siang itu Abi berbenah, semua barang yang dianggapnya masih bisa dimanfaatkan dan berharga sengaja ia pilihkan untukku, barang berharga bagiku adalah buku-buku. Termasuk jam tangan yang sering ia pakai ia juga berikan.

Sore harinya, setelah pamitan kepada pemilik yayasan Abi datang bersama Mas Dony ke rumahku, untuk berpamitan juga pada keluargaku karena pagi-pagi sekali sudah harus berangkat dan rencananya akan menggunakan bus. Tiket pulang pun sudah dipesannya. Siangnya Abi sempat memberikan sebuah cincin padaku yang berpelat emas putih.

“Na, cincin ini aku pesan khusus untukmu semoga kamu suka, pakai ya..! anggap saja sebagai pengganti aku, di saat kita berjauhan.” Kata-katanya membuat hatiku teriris. Entah kenapa dalam hatiku ada semacam ketakutan, aku merasa takut kehilangan.

Waktu itu setelah Maghrib akupun membeli sebuah cincin, sepupu yang mengantarku, aku ingin ada yang bisa mengingatkanku juga di kala berjauhan. Maghrib itu menjadi Maghrib terakhir kami bercengkrama. Kenapa aku merasa sedih waktu itu, entahlah mungkin ikatan hati kami itulah yang membuatku seperti itu.

Cincin itulah yang mengikat hati kami, tanpa disadari disitu telah terjadi semacam ikrar dua hati walau tanpa ada acara resmi. Hatipun menyatu dalam bingkaian rasa yang syahdu penuh haru.

***

#Air mata kehampaan#

Mel, tolong ijinkan aku ya.. ke pembimbing? besok kayaknya aku tidak masuk dulu, ada keperluan mendadak. Sepenggal ijinku pada teman dekat sepulang mengajar di TPA, aku sempatkan mampir ke rumahnya yang memang tidak terlalu jauh dari rumahku.

Keesokan harinya, kami (aku, Ibu, dan Mas Dony) sudah siap-siap untuk berangkat mengantar Abi menuju pool Bus. Letak pool, lumayan agak jauh dari rumah. Untuk mencapainya kami harus dua kali naik angkutan, setengah jam untuk mencapai tempat itu.

Selama perjalanan kami saling berdiam diri seolah menikmati saat-saat terakhir. Sesekali kami berpandangan, namun menunduk kembali, selalu ingat pesan guru ngaji “Ghadul bashar” (selalu harus menundukkan pandangan) karena dari pandanganlah setan akan masuk dan membisikan hasratnya ke dalam dada manusia. Suara mesin kendaraan yang kami tumpangi seolah-olah menyanyikan lagu perpisahan yang nadanya selalu “do”. Pohon-pohon yang kulalui selama perjalanan seakan mengucapkan selamat jalan kepada Abi. Lengkap sudah simponi kesedihan itu menggelayut di rasa.

Sesampainya di pool sambil menunggu persiapan bus kami duduk di ruang tunggu, kami berempat, aku, Abi, Ibuku, dan Mas Dony berbincang-bincang. Dan Abi sempat mengucapkan satu kata padaku yang selalu terngiang di telingaku.

“Na, aku sangat sayang kamu, always and forever”.

Kata-kata itu terasa menyayat-yayat hatiku dan airmata Abipun tumpah tak terbendung. Tatapannya begitu tajam, ada suatu kegelisahan terpancar disana yang hanya aku dan Abi yang tahu getarannya. Beda dengan aku, aku tak bisa mengeluarkan air mata yang kurasakan hanyalah kesejukan yang meninggalkan keresahan di sudut hati yang paling dalam. Setelah kulihat air matanya kurasakan kasih sayangnya begitu dalam padaku, karena baru kulihat seorang ikhwan menumpahkan airmata di hadapanku.

Di saat suasana mengharu biru tiba-tiba pengeras suara berbicara “diberitahukan kepada para penumpang, bus dengan tujuan Palembang akan segera berangkat”. Suasana keharuanpun berhenti, karena Abi harus segera naik bus. Tatapan Abi dan lambaian tangannya membuat jantung berhenti berdetak. Jarum jampun ikut berhenti berputar.

Sekujur tubuh terasa lunglai dan tak berenergi, pemompa semangatku kini telah pergi. Baru pertama kali aku merasakan hal itu dalam hidupku. Aku merasa teramat kehilangan, padahal kenal saja baru sekitar satu bulanan singkat sekali memang, namun begitu berkesan dalam hatiku. Sepanjang jalan menuju rumah aku tak bisa berkata apa- apa, hanya diam memandang jalan.

***

Akankah Abi kembali dipertemukan dengan Aina, jawabnya hanya tercatat di pohon Lauhul mahfudz. Semuanya masih rahasia hanya Iradah-Nya lah yang mampu menjawabnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar