Sepulang sekolah, kutaruh tas dan kuraih kitab majmu syarif. Kuberlari menuju gundukan tanah yang masih berwarna merah kupeluk kehangatan tanahnya aku tatap batu nisan yang masih baru bertengger menancap kuat di pemakaman umum bertuliskan sebuah nama dalam huruf bercetak tebal dalam huruf arab masih jelas dan kuraba sambil berbisik, ayah... aku rindu.
Kubacakan surat Yasin di atas pusaranya air matapun tak tertahan jatuh membasahi kitab yang aku pegang dan sebelum kuakhiri dengan do'a untuk almarhum, memoar di saat bersama satu-satu bermunculan. Di saat aku masih dipangku dan didudukkan di atas pundaknya masih terasa, lari pagi setiap hari minggu selalu dihabiskan berdua, ke sekolah selalu berjalan berdua dituntun dan diseberangkan dengan tatapan kasih sayangnya, di saat aku merajuk untuk dibelikan roti bermerk America dan buku tulis locomotif serta handuk good morning untuk perlengkapan PASKIBRA beliau tunaikan walau saat itu waktu telah malam dan diguyur hujan deras. Aku teringat betul ketika aku harus berseragam Dokter kecil karena aku adalah kandidat dari sekolah yang harus mengikuti pelantikan, ayah berkata suatu saat ayah ingin engkau jadi seorang dokter.
Kata-kata ayah selalu membumi dalam hatiku di kala beliau memberi nasihat janganlah menjadi orang yang selalu menerima namun jadilah orang yang senantiasa memberi." Tangan di atas itu lebih mulia kedudukannya dari tangan yang menengadah." Kata-kata itu yang sampai sekarang menjadi kebiasaanku dan menular pada anakku.
Saat yang paling menyakitkanpun harus merenggut semua kebahagiaan kami, sepulang dari Banjarmasin setelah menjemput paman, ayah jatuh sakit. Ternyata setelah diperiksa penyakit ayah sudah akut ususnya sudah ditumpangi tumor yang akarnya sudah mulai menjalar ke lubang anus. Awalnya dokter menyarankan untuk memindahkan saluran pembuangan ke perut namun ayah menolak karena beliau tak mau membebani keluarga dengan membaui setiap beliau buang air besar.
Akhirnya semua pasrah, hari-hari dijalani dengan berurai air mata karena setiap buang air besar seakan beliau sedang melawan sakaratul maut. Setiap kali melihat ibu yang selalu sabar merawatnya setiapkali itu pula air mataku jatuh. Badan ayah semakin hari semakin kurus hingga pada suatu hari beliau meminta untuk diinapkan dirumah nenek karena beliau lebih merasa nyaman berada dekat dengan nenek.
Pengobatan alternatif dan medis tiada henti. Namun kehendak Allah tak dapat ditolak hingga pada suatu shubuh setelah dispon ibu, ayah minta diselimuti karena merasa menggigil yang tiada tara. Ba'da menunaikan shalat shubuh berakhirlah amanah seorang ayah ditunaikan, tangan yang masih bersdekap masih terasa hangat namun nadi sudah tak berdetak sesungging senyum menghiasi wajahnya tubuhnya terasa dingin beliau pergi di saat ibu juga sedang shalat shubuh.
Aku mendengar ibu berucap Innalillaahi wa innaillaihi rooji'uun... semua kaget dan memburu ayah, ibu telah ikhlas dengan kepergian ayah 7 bulan ayah menjalani sakit dengan penuh keshabaran. Tersiar berita ayah meninggal semua sanak saudara berdatangan tetagga jauhpuh berhamburan untuk melayat. Setelah dishalatkan jenazahpun harus segera dikebumikan dan meninggalkan pekarangan menuju tempat peristirahtan terahir. Jalan raya yang kami lalui dipenuhi orang-orang yang mengantar jenazah, kendaraanpun lengang yang biasanya rame. sehingga tak ada kesulitan untuk melewatinya.
Aku ingat saat terakhir kali ayah membelikan seragam berwarna putih biru yang panjang karena beliau tahu kalau putrinya sudah mendapat haid pertama dimana saatnya seorang ayah menutupi perhiasan putri kesayangannya dengan busana yang memenuhi tuntutan syar'i. Itulah amanah terakhir ayah untukku.
Aku adalah anak bungsu yang paling disayanginya, beliau meninggal di saat aku sedang butuh-butuhnya bimbingan beliau. Beliau tinggakan kami untuk selama-lamanya di saat aku berusia baru menginjak remaja saat itu aku baru menginjak 12 tahun.
****
Sekarang aku telah berusia 32 tahun, 20 tahun sudah kami hidup tanpa kehadiran ayah, namun kehangatan dan kharismanya masih hidup dalam hati kami anak-anaknya. Terutama amanah terakhirnya untuk menjaga aurat sampai kini alhamdulillah belum pernah kutampakkan perhiasanku/auratku selain muhrimku. Terima kasih ayah, engkau telah mengajarkan konsep hidup dan telah tunaikan amanah-Nya. Namun maafkan aku aku tidak bisa menjadi dokter sesuai keinginan ayah, walau demikian kini aku tengah mengabdikan ilmu yang kuperoleh untuk anak bangsa.
Kubacakan surat Yasin di atas pusaranya air matapun tak tertahan jatuh membasahi kitab yang aku pegang dan sebelum kuakhiri dengan do'a untuk almarhum, memoar di saat bersama satu-satu bermunculan. Di saat aku masih dipangku dan didudukkan di atas pundaknya masih terasa, lari pagi setiap hari minggu selalu dihabiskan berdua, ke sekolah selalu berjalan berdua dituntun dan diseberangkan dengan tatapan kasih sayangnya, di saat aku merajuk untuk dibelikan roti bermerk America dan buku tulis locomotif serta handuk good morning untuk perlengkapan PASKIBRA beliau tunaikan walau saat itu waktu telah malam dan diguyur hujan deras. Aku teringat betul ketika aku harus berseragam Dokter kecil karena aku adalah kandidat dari sekolah yang harus mengikuti pelantikan, ayah berkata suatu saat ayah ingin engkau jadi seorang dokter.
Kata-kata ayah selalu membumi dalam hatiku di kala beliau memberi nasihat janganlah menjadi orang yang selalu menerima namun jadilah orang yang senantiasa memberi." Tangan di atas itu lebih mulia kedudukannya dari tangan yang menengadah." Kata-kata itu yang sampai sekarang menjadi kebiasaanku dan menular pada anakku.
Saat yang paling menyakitkanpun harus merenggut semua kebahagiaan kami, sepulang dari Banjarmasin setelah menjemput paman, ayah jatuh sakit. Ternyata setelah diperiksa penyakit ayah sudah akut ususnya sudah ditumpangi tumor yang akarnya sudah mulai menjalar ke lubang anus. Awalnya dokter menyarankan untuk memindahkan saluran pembuangan ke perut namun ayah menolak karena beliau tak mau membebani keluarga dengan membaui setiap beliau buang air besar.
Akhirnya semua pasrah, hari-hari dijalani dengan berurai air mata karena setiap buang air besar seakan beliau sedang melawan sakaratul maut. Setiap kali melihat ibu yang selalu sabar merawatnya setiapkali itu pula air mataku jatuh. Badan ayah semakin hari semakin kurus hingga pada suatu hari beliau meminta untuk diinapkan dirumah nenek karena beliau lebih merasa nyaman berada dekat dengan nenek.
Pengobatan alternatif dan medis tiada henti. Namun kehendak Allah tak dapat ditolak hingga pada suatu shubuh setelah dispon ibu, ayah minta diselimuti karena merasa menggigil yang tiada tara. Ba'da menunaikan shalat shubuh berakhirlah amanah seorang ayah ditunaikan, tangan yang masih bersdekap masih terasa hangat namun nadi sudah tak berdetak sesungging senyum menghiasi wajahnya tubuhnya terasa dingin beliau pergi di saat ibu juga sedang shalat shubuh.
Aku mendengar ibu berucap Innalillaahi wa innaillaihi rooji'uun... semua kaget dan memburu ayah, ibu telah ikhlas dengan kepergian ayah 7 bulan ayah menjalani sakit dengan penuh keshabaran. Tersiar berita ayah meninggal semua sanak saudara berdatangan tetagga jauhpuh berhamburan untuk melayat. Setelah dishalatkan jenazahpun harus segera dikebumikan dan meninggalkan pekarangan menuju tempat peristirahtan terahir. Jalan raya yang kami lalui dipenuhi orang-orang yang mengantar jenazah, kendaraanpun lengang yang biasanya rame. sehingga tak ada kesulitan untuk melewatinya.
Aku ingat saat terakhir kali ayah membelikan seragam berwarna putih biru yang panjang karena beliau tahu kalau putrinya sudah mendapat haid pertama dimana saatnya seorang ayah menutupi perhiasan putri kesayangannya dengan busana yang memenuhi tuntutan syar'i. Itulah amanah terakhir ayah untukku.
Aku adalah anak bungsu yang paling disayanginya, beliau meninggal di saat aku sedang butuh-butuhnya bimbingan beliau. Beliau tinggakan kami untuk selama-lamanya di saat aku berusia baru menginjak remaja saat itu aku baru menginjak 12 tahun.
****
Sekarang aku telah berusia 32 tahun, 20 tahun sudah kami hidup tanpa kehadiran ayah, namun kehangatan dan kharismanya masih hidup dalam hati kami anak-anaknya. Terutama amanah terakhirnya untuk menjaga aurat sampai kini alhamdulillah belum pernah kutampakkan perhiasanku/auratku selain muhrimku. Terima kasih ayah, engkau telah mengajarkan konsep hidup dan telah tunaikan amanah-Nya. Namun maafkan aku aku tidak bisa menjadi dokter sesuai keinginan ayah, walau demikian kini aku tengah mengabdikan ilmu yang kuperoleh untuk anak bangsa.
****
By: Liz
Bandung, 16 Mei 2010
Titik Nol, Toto Susilo, Bamby Cahyadi and 11 others like this.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar