Sebagian Karyaku

Sebagian Karyaku
Hasil Goresan dari tahun 2010-2013

Ruang Singgah

Ruang tempat persinggahan imaji, mencari arti sunyi yang tersembunyi dalam diri demi meniti Cinta-Nya

Selasa, 09 April 2013

Cerpenku di Story Teenlight Magazine



Pengantar dari Sang Editor: Reni Erina

Akhirnya, inilah yang beruntung muncul di edisi 19. Masa penantian yang panjang, kesabaran dan doa, akhirnya membuahkan hasil.

Seusai Rinai, milik R. Yulia, Nissa begitu beruntung karena bertemu seseorang yang mengingatkannya akan apa arti perhatian Bunda. Juga Kakak Tua Kesandung Cinta punya Ina Inong, yang karena Inot-lah, Gian sadar bahwa sikapnya pada orangtuanya sangat salah.  Romantika Arrenda karya Windri Astuti, Arrenda yang pintar membimbing Adrian, dan Andrian menyadarkan Arrenda bahwa hidup nggak sekedar membaca buku.
Cerpen-cerpen keren lainnya adalah Pevita Putri Prajurit Karomit- Luhur Satya Pambudi,  Lapangan Basket- Herjuno Tisnoaji, Kiara- Setiawan Chogah, yang sangat Minang (syukurlah aku berhasil mendapatkan cerpen berlatar kultural), Separuh Matahari Untuk Sahabat -Andhika Rahmadian Purnama, Jurus Comblang No.1- Sahid Salahuddin (akhirnya, dikau muncul juga setelah penantian panjaaaaang, Bang Sahid), Ekuator - Hilal Ahmad, Cerbung : Jalan Pintas - Ilenk Rembulan (Berhasil juga kau muncul, Mbak, setelah menunggu sampai karatan, hehe), dan cerpen lainnya yang gak bisa disebutin semua.Oya, untuk Teh Elis Tating Badiah, Makassssiiihh, akhirnya kutemukan Cerpen Guru yang manis ;)
________________ 

Inilah Cerpennya:




Muridku Terkena Virus

Oleh: 
Elis tating Bardiah



Aku adalah seorang pengajar dari sebuah SMA swasta di Bandung. Bangunannya sudah lumayan berumur. Aku terlanjur jatuh cinta dengan suasananya yang relijius dan siswa-siswinya yang masih mudah diatur. Amanah yang kujalani saat ini selain sebagai guru mata pelajaran Ekonomi aku juga dipercaya memegang sebuah kegiatan ekstra kurikuler.
Langkahku pada teras putih semakin membuat pikiranku terang, di pintu kedua yang kulewati dua murid menyapa. Dengan ucapan salam dan beberapa ciuman mendarat di punggung tanganku. Sapaan itu merupakan bahan bakar dari jiwa ini yang baru saja sarapan debu knalpot. Di ruang guru baru ada satu orang guru yang sedang menikmati sarapannya.
“Bu Rahma, sarapan dulu nih..!”
“Aduh! Terimakasih. Aku sudah sarapan di rumah.”
Baru saja aku menghela nafas. Grudug..Grudug..Grudug! suara tas yang berbaur dengan tempat pensil di dalamnya memecah suasana hening. Eh! Rupanya seorang siswi dengan wajah yang sumringah bercampur gelisah, masuk.
“Ibu… aku gagal. Hiks!“
“Apanya yang gagal?”
“Nggak, Bu!”
“Makanya jangan pacaran, lebih baik punya pacar beneran!” Bu Nayla menimpali. Rupanya Bu Nayla, sudah menangkap persoalan yang menghinggapi mawar yang baru mekar ini. Apalagi, selain virus berwarna merah jambu yang tengah menggerogoti hatinya.
Aku mencium sesuatu dari siswi ini, matanya yang selalu melirikku seolah ingin menceritakan sesuatu padaku. Belum juga sempat berdialog. Teeett…. Teeeeeeet! Bel tanda masuk sudah berbunyi, obrolan kami terputus, aku harus segera mengawali jam pertama di kelas X yang letaknya berdampingan dengan ruang guru. Sebelum memulai pelajaran, Ayat Al-Qur’an selalu dikumandangkan memenuhi ruangan kelas.
“Hafalkan ayat Q.S Al-Baqarah ayat 1-30! Menjelang ulangan umum, Ibu tes kalian sebagai nilai tambah untuk mata pelajaran Ekonomi.”
“Harusnya yang kayak gini, itu guru PAI (Pendididikan Agama Islam) Bu!” Seorang siswi bersungut-sungut.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
****

Setelah pelajaran usai di kelas X, aku memasuki kelas XI IPS yang sering membuatku malas untuk memasukinya. Selain motivasinya kurang tak jarang mereka membuat masalah. Meski demikian seorang guru pantang mengeluh.
Setelah mengucapkan salam.
“Keluarkan kertas selembar!”
“Yaaaa.. jadi ulangan!”
“Bu! Boleh OB (open book)?”
“Boleh, tapi dengan satu syarat.”
“Apa Bu, syaratnya?”
“Jangan tanya teman!”
“Asyiiiiik!” Mereka kegirangan.
Ini adalah ulangan pertama bagi mereka pada semester genap kali ini, dengan materi yang berbeda dari sebelumnya. Mereka menyangka ulangan Akuntansi akan sama halnya dengan Ekonomi yang bisa dengan mudah disalin begitu saja. Aku memberikan kesempatan OB pada mereka bukan semata memberi peluang yang tidak benar. Terlepas dari pengalamanku kuliah dulu, kalau tidak faham betul tetap saja ia tidak akan bisa mengerjakan sekalipun OB.
Di saat aku absen satu per satu dan jatuh pada salah seorang siswi yang aku sebut.
“Rima!”
“Rima!”
Dua kali aku mengulang namanya dia tak menjawab.
“Kemana Rima?”
Teman-temannya saling menggelengkan kepala dan saling menatap. Kemana anak itu? Tadi kan dia temui aku di ruang guru. Apa dia marah karena di saat ingin bicara aku tinggalkan masuk kelas? Atau… aku teringat kata-katanya yang sempat mengatakan GAGAL. Aduh! Celaka! Pikiranku sudah negatif pada Rima, jangan-jangan… Ya Tuhan, semoga Rima tidak melakukan hal yang bodoh.
“Anak-anak! Kalian jangan ribut! Kerjakan ulangannya.” Kututup buku absen dan beranjak dari kelas untuk mencari Rima.
****
Di sepanjang koridor aku tidak mendapati Rima, di kantin juga tidak ada, di halaman sekolah nihil, begitu pun di perpustakaan. Aku berharap dia ada di toilet, dan yang terbayang dia sedang sesunggukan. Ya! Pasti dia ada di toilet.
Langkahku kuatur sedemikian rupa supaya tidak terdengar suara sepatuku. Di dalam toilet ada suara keran terbuka. Hatiku merasa agak plong! Tu, kan.. benar dugaanku? Pasti dia ada di dalamnya.
Setelah beberapa lama aku berdiri. Aku penasaran, kok lama banget ya? Aku berusaha mengetuknya, karena pikiranku sudah kalang kabut. Saat pintu terbuka. Krekeeeeet…. Eh! Ada Ibu.. sedang apa, Bu? Yang muncul malah anak kelas X.
Di mana nih, Rima? Cepat-cepat aku keluar dan melanjutkan pencarianku. Ada satu tempat lagi yang belum kujelajahi. Musola. Mudah-mudahan kali ini dugaanku benar. Sambil sesekali kutengok ke kelas barangkali dia sudah ada di kelas. Namun tetap luput.
Di antara hijaunya karpet yang menghampar di musola, kutangkap seseorang yang tengah duduk menghadap kiblat terhalang hijab/sekat antara barisan laki-laki dan wanita, masih menggunakan mukena. Dari perawakannya aku hapal itu pasti Rima lalu secara perlahan aku dekati dia.
“Rima..” Lirih kupanggil namanya.
“Ibu..! Hiks!”  Siswi itu ternyata memang benar Rima, dia tiba-tiba memelukku erat. Aku elus dengan lembut.
“Kenapa?”
“Tadi Ibu sempat khawatir, orang lain ulangan kok! Kamu menghilang?”
“Coba terus terang sama Ibu, Ibu siap mendengarkan. Jika kamu percaya sama Ibu.”
“Ibu! Aku suka sama cowok, cowok kelas XII yang Ibu ajar juga.”
“Terus? Sebentar, siapa?” aku membenarkan tempat dudukku.
“Ah! Ibu! Suka pura-pura gak tahu.”
“Akmal, Ibu…”
“Hmmm.. Ya.. Ya.. Ya.
“Kemaren dia nungguin aku di depan musola, tapi nggak aku temuin. Aku malu.”
“Lah! Kok?”
“Bahkan semalam aku sms-an. Aku ingin kejelasan dari dia tapi tak ada jawaban. Ibu! Rima harus bagaimana? Bagaimana mengatasi rasa yang terlanjur cinta? Terus terang aku hampir gila dibuatnya, dari kemarin bisanya hanya melamun mikirin dia. Aku butuh jawaban yang pasti. Aku gak bisa tenang, sebelum dia menjawab, ya! Atau tidak!
“Terus? Kenapa mesti menangis? Rima, sangat berharap ya, sama Akmal?”
“Iya. Bu! Rima hampir gila dengan perasaan Rima sendiri. Kalau sudah ingat akmal Rima gak bisa ngapa-ngapain selain melongo dan tenggelam dalam lamunan.”
“Astaghfirullah! Jangan sampai gitu, ah! Entar kamu kecewa! Lagian kamu masih punya Tuhan, adukanlah semuanya pada Dia.
“Rima juga gak ngerti, kenapa ya, Rima Seperti ini. Rima harus bagaimana?” Dalam ia berbicara airmatanya menggenang menjadi sebuah telaga yang siap pecah di sudut matanya.
“Rima, mau mendengar Ibu bicara?” Kuambil tisu dan kuberikan padanya untuk sekedar menyeka air matanya.
“Iya, Bu..”
“Kalau memang Rima mau kejelasan, carilah kejelasan itu secara langsung. Tanya saja pada orangnya. Kalau mau bicara tentang perasaanmu padanya juga silakan, supaya tak ada beban lagi. Cari waktu yang pas. Daripada sekarang Rima merasa digantung oleh jawaban yang tak pernah pasti.”
“Memang gak apa-apa Bu, kalau Rima yang mengajak bicara duluan?”
“Daripada kamu tersiksa! Apa mau seperti ini terus? Apapun jawabannya nanti, kamu harus bisa menerimanya. Bukan itu yang kamu inginkan? Kejelasan bukan?”
“Emmm ..Iya, ya .. Bu! Akan Rima coba. Makasih ya, Bu.. atas sarannya”.
“Ok! Semoga kamu bisa.”
***

Seolah aku merasakan kegelisahan yang sedang mengaduk perasaan Rima. Entahlah! Mungkin karena aku juga perempuan. Atau mungkin karena aku guru yang terlalu care terhadap anak didiknya. Tidak hanya masalah pelajaran, persahabatan, percintaan, sampai urusan keluarga terkadang mendarat dalam pikiranku. Mereka begitu percaya melemparkan semua permasalahannya padaku. Padahal aku bukan guru BP atau pun  wali kelas mereka.
Secara diam-diam dalam hati, aku berniat menyusuri kegelisahan Rima dengan mencari jawabnya dari Akmal. Sehabis istirahat aku masuki kelas Akmal, karena memang jadwalku di kelas XII IPS. Udara hari ini memang panas, anak terlihat sedang mengipas-ngipas badannya dengan kertas foto kopian sekedar mencari udara yang lebih segar. Sudah menjadi kebiasaan, aku selalu mengawali pelajaran dengan canda, tawa pun selalu pecah di kelas ini. Saat anak-anak menikmati tawanya aku sengaja sedikit bertanya pada Akmal.
“Mal! Boleh ibu tanya sesuatu?”
“Silakan, Bu!”
“Akmal sudah tahu bahwa ada seorang siswi yang menyukaimu?”
“Iya Bu, Akmal tahu. Memang kenapa Bu?”
“Siapa?”
“Rima.”
“Terus? Akmal menyukainya juga?”
“Akmal terdiam.”
“Kenapa, diam?”
“Sebenarnya…”
“Sebenarnya apa?”
“Sebenarnya.. Akmal suka sama temannya Bu! Puteri..”
Langit terasa gelap. Setelah mendengar pernyataan Akmal. Aku merasakan kalau seandainya Rima mengetahui hal itu. Dalam hatinya kini yang terukir hanyalah Akmal. Lalu setelah kususuri ternyata Akmal menaruh hati justru pada temannya. Aku tarik nafas. Hemmm..
“Akmal! Bolehkah Ibu memberi sedikit saran?”
“Sangat boleh Bu!”
“Akmal bisa menjelaskan semua ini kan, pada Rima? Rima sangat berharap bahwa cintanya bisa kau terima. Tapi apa boleh buat, jika kenyataannya kamu tidak bisa menerimanya. Tapi Ibu harap kamu bisa berlaku bijak dalam menyikapi hal ini. Ibu telah mendengar sedikitnya pembicaraan kamu lewat sms itu. Coba sebagai laki-laki kamu harus tegas. Jika memang kamu tidak suka katakan tidak suka dan jika sebaliknya, kamu juga harus bilang bahwa kamu suka. Jangan membuat orang digantung oleh jawaban yang tak pernah kau tuntaskan. Sehingga mengaduk perasaan orang sedemikan rupa. Itu bisa berakibat fatal. Loh..!” Bahkan bisa berujung pada kematian untuk orang yang memang tidak kuat pertahanan keyakinan dan mentalnya.”
Akmal terdiam setelah mendengar pernyataanku.
****

Waktu pun beranjak semakin siang, adzan telah berkumandang aku segera mengambil air wudhu untuk segera menuju musola dan menunaikan salat dzuhur.  Di sana sudah ada yang menanti seorang siswi yang ingin berjama’ah denganku. Entahlah.. aku begitu menikmati suasana seperti ini, tatkala anak-anak merindukanku bukan sekedar sebagai guru namun segalanya buat mereka. Ada sebuah kebahagiaan yang menari di sudut hatiku. Terima kasih Tuhan.
Koridor nampak lengang. Guru-guru yang lain sudah tak nampak di  mataku. Hari sabtu adalah hari yang padat. Setelah selesai salat, aku masih harus memberikan pemantapan persiapan ujian untuk kelas XII karena memang pelajaranku adalah salah satu yang diujiankan. Satu per satu soal pun dibahas berikut cara perhitungannya. Mereka tampak semangat. 20 soal selesai. Pemantapan kali ini kututup dengan kata “selamat menempuh tryout tanggal 16 semoga kalian bisa melaluinya dengan mudah.”
“Akmal! Tunggu! Jangan dulu pulang, ibu ingin bicara. Sebentar saja.”
“Iya. Bu!”
“Tadi Rima telah panjang lebar mengutarakan isi hatinya. Ibu harap kamu bisa memberi jawaban secepatnya. Supaya Rima tidak terlalu lama tersiksa oleh perasaannya sendiri. Katakan dengan baik-baik. Ibu yakin kamu bisa bersikap bijak”
“Baik, Bu!”
****

Sore ini aku harus menulis. Sudah hampir 2 tahun ini aku seolah tenggelam dalam susunan kata. Meski kuakui aku tak ada basic di bidang tulis menulis. Aku hanya mengikuti apa yang ingin kutulis, dengan  tujuan biar suatu saat bila aku mati, ada yang bisa aku tinggalkan.
Kulihat hp-ku ada sms masuk.
“Ibu.. Assalamu’alaikum. Bagaimana kabar Ibu? Aku rindu sama Ibu”. Salah satu sms dari alumni, lulusan 3 tahun yang lalu.
“Pletuk!” Kotak chat terbuka.
“Ibu.. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumus salam wr wb.”
“Iya?”
“Ibu, Ica mau curhat. Boleh?”
“Silakan..”
“Boleh gak, kalau Ica merasa kecewa?”
“Oleh?”
”Teman.”
“Laki-laki atau perempuan?”
“Laki-laki. Tapi sebatas teman kok! Bu..
Di samping kotaknya, muncul juga sapaan Rima.
“Ibu…! Assalamu’alaikum.. Tadi Akmal sms aku.”
Wa’alaikumus salam wr wb. Apa katanya?”
“Dia tanya, apa benar Rima suka pada Akmal?”
“Terus?”
“Aku jawab Iya.”
“Terus dia bilang lagi.”
“Bilang apa?”
“Semoga Rima dapat memaafkan Akmal. Saat ini Akmal sedang tak ingin pacaran, mau konsentrasi dulu ke ujian. Lebih baik hilangkan Akmal ya.. di hati Rima. Mungkin ini yang terbaik untuk kita saat ini.”
“Sakit, Ibu… hiks!”
“Bukannya itu yang diinginkan Rima?”
“Iya.”
“Ya, sudah! Sekarang sudah jelas, Rima gak mesti mencintai bayang-bayang. Sabar ya.. sekarang lebih baik Rima konsentrasi sama pelajaran, anggap saja itu adalah angin yang tengah menyapa dalam kehidupan Rima. Semoga ada pengganti Akmal yang lebih baik di kemudian hari.”
“Iya. Bu! Gak salah Rima pilih Ibu sebagai teman bicara. Terimakasih ya, Ibuku tercinta.”
****

Jika kuingat masa-masa SMA dulu persoalan mereka adalah persoalan besar yang memang perlu penanganan khusus. Aku pun pernah menjadi remaja, di mana setiap permasalahan memang perlu solusi. Sehingga aku ingin menjadi solusi bagi permasalahan mereka.
****
  
                                                                                           Bandung, 12 Februari 2011

Catatan: Ini naskah asli sebelum dipangkas Sang Editor hingga menjadi  6000 karakter saja.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar