Pengantar dari Sang Editor: Reni Erina
Akhirnya, inilah yang beruntung
muncul di edisi 19. Masa penantian yang panjang, kesabaran dan doa, akhirnya
membuahkan hasil.
Seusai Rinai, milik R. Yulia, Nissa begitu beruntung karena bertemu
seseorang yang mengingatkannya akan apa arti perhatian Bunda. Juga Kakak Tua
Kesandung Cinta punya Ina Inong, yang karena Inot-lah, Gian sadar bahwa
sikapnya pada orangtuanya sangat salah. Romantika Arrenda karya
Windri Astuti, Arrenda yang pintar membimbing Adrian, dan Andrian menyadarkan
Arrenda bahwa hidup nggak sekedar membaca buku.
Cerpen-cerpen keren lainnya adalah Pevita
Putri Prajurit Karomit- Luhur Satya Pambudi, Lapangan Basket-
Herjuno Tisnoaji, Kiara- Setiawan Chogah, yang sangat Minang (syukurlah
aku berhasil mendapatkan cerpen berlatar kultural), Separuh Matahari Untuk
Sahabat -Andhika Rahmadian Purnama, Jurus Comblang No.1- Sahid
Salahuddin (akhirnya, dikau muncul juga setelah penantian panjaaaaang, Bang
Sahid), Ekuator - Hilal Ahmad, Cerbung : Jalan Pintas - Ilenk Rembulan
(Berhasil juga kau muncul, Mbak, setelah menunggu sampai karatan, hehe), dan
cerpen lainnya yang gak bisa disebutin semua.Oya, untuk Teh Elis Tating Badiah,
Makassssiiihh, akhirnya kutemukan Cerpen Guru yang manis ;)
________________
Inilah Cerpennya:
Muridku
Terkena Virus
Oleh:
Elis tating Bardiah
Aku
adalah seorang pengajar dari sebuah SMA swasta di Bandung. Bangunannya sudah lumayan berumur. Aku
terlanjur jatuh cinta dengan suasananya yang relijius dan siswa-siswinya yang
masih mudah diatur. Amanah yang kujalani saat ini selain sebagai guru mata
pelajaran Ekonomi aku juga dipercaya memegang sebuah kegiatan ekstra kurikuler.
Langkahku
pada teras putih semakin membuat pikiranku terang, di pintu kedua yang kulewati
dua murid menyapa. Dengan ucapan salam dan beberapa
ciuman mendarat di punggung tanganku. Sapaan itu merupakan bahan bakar dari jiwa
ini yang baru saja sarapan debu knalpot. Di ruang guru baru ada satu orang guru
yang sedang menikmati sarapannya.
“Bu
Rahma, sarapan dulu nih..!”
“Aduh!
Terimakasih. Aku sudah sarapan di rumah.”
Baru
saja aku menghela nafas. Grudug..Grudug..Grudug! suara tas yang berbaur dengan
tempat pensil di dalamnya memecah suasana hening. Eh! Rupanya seorang siswi
dengan wajah yang sumringah bercampur gelisah, masuk.
“Ibu… aku gagal. Hiks!“
“Apanya
yang gagal?”
“Nggak,
Bu!”
“Makanya
jangan pacaran, lebih baik punya pacar beneran!” Bu Nayla menimpali. Rupanya Bu
Nayla, sudah menangkap persoalan yang menghinggapi mawar yang baru mekar ini.
Apalagi, selain virus berwarna merah jambu yang tengah menggerogoti hatinya.
Aku
mencium sesuatu dari siswi ini, matanya yang selalu melirikku seolah ingin
menceritakan sesuatu padaku. Belum juga sempat berdialog. Teeett…. Teeeeeeet!
Bel tanda masuk sudah berbunyi, obrolan kami terputus, aku harus segera mengawali
jam pertama di kelas X yang letaknya berdampingan dengan ruang guru. Sebelum
memulai pelajaran, Ayat Al-Qur’an selalu dikumandangkan memenuhi ruangan kelas.
“Hafalkan
ayat Q.S Al-Baqarah ayat 1-30! Menjelang ulangan umum, Ibu tes kalian sebagai
nilai tambah untuk mata pelajaran Ekonomi.”
“Harusnya
yang kayak gini, itu guru PAI (Pendididikan Agama Islam) Bu!” Seorang siswi
bersungut-sungut.
Aku
hanya membalasnya dengan senyuman.
****
Setelah
pelajaran usai di kelas X, aku memasuki kelas XI IPS yang sering membuatku
malas untuk memasukinya. Selain motivasinya kurang tak jarang mereka membuat
masalah. Meski demikian seorang guru pantang mengeluh.
Setelah
mengucapkan salam.
“Keluarkan
kertas selembar!”
“Yaaaa..
jadi ulangan!”
“Bu!
Boleh OB (open book)?”
“Boleh,
tapi dengan satu syarat.”
“Apa
Bu, syaratnya?”
“Jangan
tanya teman!”
“Asyiiiiik!”
Mereka kegirangan.
Ini
adalah ulangan pertama bagi mereka pada semester genap kali ini, dengan materi
yang berbeda dari sebelumnya. Mereka menyangka ulangan Akuntansi akan sama
halnya dengan Ekonomi yang bisa dengan mudah disalin begitu saja. Aku
memberikan kesempatan OB pada mereka bukan semata memberi peluang yang tidak
benar. Terlepas dari pengalamanku kuliah dulu, kalau tidak faham betul tetap
saja ia tidak akan bisa mengerjakan sekalipun OB.
Di
saat aku absen satu per satu dan jatuh pada salah seorang siswi yang aku sebut.
“Rima!”
“Rima!”
Dua
kali aku mengulang namanya dia tak menjawab.
“Kemana
Rima?”
Teman-temannya
saling menggelengkan kepala dan saling menatap. Kemana anak itu? Tadi kan dia
temui aku di ruang guru. Apa dia marah karena di saat ingin bicara aku
tinggalkan masuk kelas? Atau… aku teringat kata-katanya yang sempat mengatakan
GAGAL. Aduh! Celaka! Pikiranku sudah negatif pada Rima, jangan-jangan… Ya
Tuhan, semoga Rima tidak melakukan hal yang bodoh.
“Anak-anak!
Kalian jangan ribut! Kerjakan ulangannya.” Kututup buku absen dan beranjak dari
kelas untuk mencari Rima.
****
Di
sepanjang koridor aku tidak mendapati Rima, di kantin juga tidak ada, di
halaman sekolah nihil, begitu pun di perpustakaan. Aku berharap dia ada di
toilet, dan yang terbayang dia sedang sesunggukan. Ya! Pasti dia ada di toilet.
Langkahku
kuatur sedemikian rupa supaya tidak terdengar suara sepatuku. Di dalam toilet
ada suara keran terbuka. Hatiku merasa agak plong! Tu, kan.. benar dugaanku?
Pasti dia ada di dalamnya.
Setelah
beberapa lama aku berdiri. Aku penasaran, kok lama banget ya? Aku berusaha
mengetuknya, karena pikiranku sudah kalang kabut. Saat pintu terbuka.
Krekeeeeet…. Eh! Ada Ibu.. sedang apa, Bu? Yang muncul malah anak kelas X.
Di
mana nih, Rima? Cepat-cepat aku keluar dan melanjutkan pencarianku. Ada satu
tempat lagi yang belum kujelajahi. Musola. Mudah-mudahan kali ini dugaanku
benar. Sambil sesekali kutengok ke kelas barangkali dia sudah ada di kelas.
Namun tetap luput.
Di
antara hijaunya karpet yang menghampar di musola, kutangkap seseorang yang
tengah duduk menghadap kiblat terhalang hijab/sekat antara barisan laki-laki
dan wanita, masih menggunakan mukena. Dari perawakannya aku hapal itu pasti
Rima lalu secara perlahan aku dekati dia.
“Rima..”
Lirih kupanggil namanya.
“Ibu..!
Hiks!” Siswi itu ternyata memang benar
Rima, dia tiba-tiba memelukku erat. Aku elus dengan lembut.
“Kenapa?”
“Tadi
Ibu sempat khawatir, orang lain ulangan kok! Kamu menghilang?”
“Coba
terus terang sama Ibu, Ibu siap mendengarkan. Jika kamu percaya sama Ibu.”
“Ibu!
Aku suka sama cowok, cowok kelas XII yang Ibu ajar juga.”
“Terus?
Sebentar, siapa?” aku membenarkan tempat dudukku.
“Ah!
Ibu! Suka pura-pura gak tahu.”
“Akmal,
Ibu…”
“Hmmm..
Ya.. Ya.. Ya.
“Kemaren
dia nungguin aku di depan musola, tapi nggak aku temuin. Aku malu.”
“Lah!
Kok?”
“Bahkan
semalam aku sms-an. Aku ingin kejelasan dari dia tapi tak ada jawaban. Ibu!
Rima harus bagaimana? Bagaimana mengatasi rasa yang terlanjur cinta? Terus
terang aku hampir gila dibuatnya, dari kemarin bisanya hanya melamun mikirin
dia. Aku butuh jawaban yang pasti. Aku gak bisa tenang, sebelum dia menjawab,
ya! Atau tidak!
“Terus?
Kenapa mesti menangis? Rima, sangat berharap ya, sama Akmal?”
“Iya.
Bu! Rima hampir gila dengan perasaan Rima sendiri. Kalau sudah ingat akmal Rima
gak bisa ngapa-ngapain selain melongo dan tenggelam dalam lamunan.”
“Astaghfirullah! Jangan sampai gitu, ah! Entar kamu
kecewa! Lagian kamu masih punya Tuhan, adukanlah semuanya pada Dia.
“Rima
juga gak ngerti, kenapa ya, Rima Seperti ini. Rima harus bagaimana?” Dalam ia
berbicara airmatanya menggenang menjadi sebuah telaga yang siap pecah di sudut
matanya.
“Rima,
mau mendengar Ibu bicara?” Kuambil tisu dan kuberikan padanya untuk sekedar
menyeka air matanya.
“Iya,
Bu..”
“Kalau
memang Rima mau kejelasan, carilah kejelasan itu secara langsung. Tanya saja
pada orangnya. Kalau mau bicara tentang perasaanmu padanya juga silakan, supaya
tak ada beban lagi. Cari waktu yang pas. Daripada sekarang Rima merasa digantung
oleh jawaban yang tak pernah pasti.”
“Memang
gak apa-apa Bu, kalau Rima yang mengajak bicara duluan?”
“Daripada
kamu tersiksa! Apa mau seperti ini terus? Apapun jawabannya nanti, kamu harus
bisa menerimanya. Bukan itu yang kamu inginkan? Kejelasan bukan?”
“Emmm
..Iya, ya .. Bu! Akan Rima coba. Makasih ya, Bu.. atas sarannya”.
“Ok!
Semoga kamu bisa.”
***
Seolah
aku merasakan kegelisahan yang sedang mengaduk perasaan Rima. Entahlah! Mungkin
karena aku juga perempuan. Atau mungkin karena aku guru yang terlalu care terhadap anak didiknya. Tidak hanya
masalah pelajaran, persahabatan, percintaan, sampai urusan keluarga terkadang
mendarat dalam pikiranku. Mereka begitu percaya melemparkan semua
permasalahannya padaku. Padahal aku bukan guru BP atau pun wali kelas mereka.
Secara
diam-diam dalam hati, aku berniat menyusuri kegelisahan Rima dengan mencari
jawabnya dari Akmal. Sehabis istirahat aku masuki kelas Akmal, karena memang
jadwalku di kelas XII IPS. Udara hari ini memang panas, anak terlihat sedang mengipas-ngipas
badannya dengan kertas foto kopian sekedar mencari udara yang lebih segar.
Sudah menjadi kebiasaan, aku selalu mengawali pelajaran dengan canda, tawa pun
selalu pecah di kelas ini. Saat anak-anak menikmati tawanya aku sengaja sedikit
bertanya pada Akmal.
“Mal!
Boleh ibu tanya sesuatu?”
“Silakan,
Bu!”
“Akmal
sudah tahu bahwa ada seorang siswi yang menyukaimu?”
“Iya
Bu, Akmal tahu. Memang kenapa Bu?”
“Siapa?”
“Rima.”
“Terus?
Akmal menyukainya juga?”
“Akmal
terdiam.”
“Kenapa,
diam?”
“Sebenarnya…”
“Sebenarnya
apa?”
“Sebenarnya..
Akmal suka sama temannya Bu! Puteri..”
Langit
terasa gelap. Setelah mendengar pernyataan Akmal. Aku merasakan kalau
seandainya Rima mengetahui hal itu. Dalam hatinya kini yang terukir hanyalah
Akmal. Lalu setelah kususuri ternyata Akmal menaruh hati justru pada temannya.
Aku tarik nafas. Hemmm..
“Akmal!
Bolehkah Ibu memberi sedikit saran?”
“Sangat
boleh Bu!”
“Akmal
bisa menjelaskan semua ini kan, pada Rima? Rima sangat berharap bahwa cintanya
bisa kau terima. Tapi apa boleh buat, jika kenyataannya kamu tidak bisa
menerimanya. Tapi Ibu harap kamu bisa berlaku bijak dalam menyikapi hal ini.
Ibu telah mendengar sedikitnya pembicaraan kamu lewat sms itu. Coba sebagai
laki-laki kamu harus tegas. Jika memang kamu tidak suka katakan tidak suka dan
jika sebaliknya, kamu juga harus bilang bahwa kamu suka. Jangan membuat orang
digantung oleh jawaban yang tak pernah kau tuntaskan. Sehingga mengaduk
perasaan orang sedemikan rupa. Itu bisa berakibat fatal. Loh..!” Bahkan bisa
berujung pada kematian untuk orang yang memang tidak kuat pertahanan keyakinan
dan mentalnya.”
Akmal
terdiam setelah mendengar pernyataanku.
****
Waktu
pun beranjak semakin siang, adzan telah berkumandang aku segera mengambil air
wudhu untuk segera menuju musola dan menunaikan salat dzuhur. Di sana sudah ada yang menanti seorang siswi
yang ingin berjama’ah denganku. Entahlah.. aku begitu menikmati suasana seperti
ini, tatkala anak-anak merindukanku bukan sekedar sebagai guru namun segalanya
buat mereka. Ada sebuah kebahagiaan yang menari di sudut hatiku. Terima kasih
Tuhan.
Koridor
nampak lengang. Guru-guru yang lain sudah tak nampak di mataku. Hari sabtu adalah hari yang padat.
Setelah selesai salat, aku masih harus memberikan pemantapan persiapan ujian
untuk kelas XII karena memang pelajaranku adalah salah satu yang diujiankan.
Satu per satu soal pun dibahas berikut cara perhitungannya. Mereka tampak
semangat. 20 soal selesai. Pemantapan kali ini kututup dengan kata “selamat
menempuh tryout tanggal 16 semoga kalian bisa melaluinya dengan mudah.”
“Akmal!
Tunggu! Jangan dulu pulang, ibu ingin bicara. Sebentar saja.”
“Iya.
Bu!”
“Tadi
Rima telah panjang lebar mengutarakan isi hatinya. Ibu harap kamu bisa memberi
jawaban secepatnya. Supaya Rima tidak terlalu lama tersiksa oleh perasaannya
sendiri. Katakan dengan baik-baik. Ibu yakin kamu bisa bersikap bijak”
“Baik,
Bu!”
****
Sore
ini aku harus menulis. Sudah hampir 2 tahun ini aku seolah tenggelam dalam
susunan kata. Meski kuakui aku tak ada basic
di bidang tulis menulis. Aku hanya mengikuti apa yang ingin kutulis,
dengan tujuan biar suatu saat bila aku
mati, ada yang bisa aku tinggalkan.
Kulihat
hp-ku ada sms masuk.
“Ibu..
Assalamu’alaikum. Bagaimana kabar Ibu? Aku rindu sama Ibu”. Salah satu sms dari
alumni, lulusan 3 tahun yang lalu.
“Pletuk!”
Kotak chat terbuka.
“Ibu..
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumus
salam wr wb.”
“Iya?”
“Ibu,
Ica mau curhat. Boleh?”
“Silakan..”
“Boleh
gak, kalau Ica merasa kecewa?”
“Oleh?”
”Teman.”
“Laki-laki
atau perempuan?”
“Laki-laki.
Tapi sebatas teman kok! Bu..
Di
samping kotaknya, muncul juga sapaan Rima.
“Ibu…!
Assalamu’alaikum.. Tadi Akmal sms aku.”
Wa’alaikumus
salam wr wb. Apa katanya?”
“Dia
tanya, apa benar Rima suka pada Akmal?”
“Terus?”
“Aku
jawab Iya.”
“Terus
dia bilang lagi.”
“Bilang
apa?”
“Semoga
Rima dapat memaafkan Akmal. Saat ini Akmal sedang tak ingin pacaran, mau
konsentrasi dulu ke ujian. Lebih baik hilangkan Akmal ya.. di hati Rima.
Mungkin ini yang terbaik untuk kita saat ini.”
“Sakit,
Ibu… hiks!”
“Bukannya
itu yang diinginkan Rima?”
“Iya.”
“Ya,
sudah! Sekarang sudah jelas, Rima gak mesti mencintai bayang-bayang. Sabar ya..
sekarang lebih baik Rima konsentrasi sama pelajaran, anggap saja itu adalah
angin yang tengah menyapa dalam kehidupan Rima. Semoga ada pengganti Akmal yang
lebih baik di kemudian hari.”
“Iya.
Bu! Gak salah Rima pilih Ibu sebagai teman bicara. Terimakasih ya, Ibuku
tercinta.”
****
Jika
kuingat masa-masa SMA dulu persoalan mereka adalah persoalan besar yang memang
perlu penanganan khusus. Aku pun pernah menjadi remaja, di mana setiap
permasalahan memang perlu solusi. Sehingga aku ingin menjadi solusi bagi
permasalahan mereka.
****
Bandung, 12 Februari 2011
Catatan: Ini naskah asli sebelum dipangkas Sang Editor hingga menjadi 6000 karakter saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar