Sebagian Karyaku

Sebagian Karyaku
Hasil Goresan dari tahun 2010-2013

Ruang Singgah

Ruang tempat persinggahan imaji, mencari arti sunyi yang tersembunyi dalam diri demi meniti Cinta-Nya

Rabu, 14 November 2012

Esaiku Tentang Kumcer Senapan Cinta




Ringkasannya pernah diminta untuk dimuat oleh Editor Buletin Halaman Pantai-Padang  pada tahun 2010 dan pernah diikutkan pada Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) yang diselenggarakan Kemendiknas.

^^^^
Tak sekadar Romantis

ULASAN KUMPULAN CERPEN
SENAPAN CINTA
 
Karya: Kurnia Effendi
Oleh: Elis Tating Bardiah, S.Pd

BAB I
ABSTRAKSI

Laras Panjang Senapan Cinta
Pengarang muncul sebagai penduduk sebuah pedesaan yang dikejutkan dengan bunyi letupan senjata, dzrepp! Letup dengan desibel rendah tiba-tiba menguraikan bulu-bulu seekor burung yang beterbangan tanpa diketahui asalnya. Namun setelah keterkejutan, disusul dengan sosok pemburu yang tiba-tiba berucap minta ijin lewat. Pemburu itu mengaku sebagai seorang pecinta yang sedang mencari seseorang yang akan menjadi pasangan hidupnya yang baru saja dikirim dari langit untuknya. Padahal menurut pandangan penduduk desa, yang menggantung dipunggungnya hanyalah seekor burung bukanlah seorang wanita. Yang kemudian setelah mengikuti perginya sang pemburu ke tengah hutan justru yang jadi buruan wanita yang menggantung di punggung pemburu tadi adalah dirinya sendiri.
Paragraf di atas merupakan potongan cerpen “Laras Panjang Senapan Cinta” salah satu cerpen yang dijadikan judul utama Senapan Cinta Karya Kurnia Effendi. Selain “Laras Panjang Senapan Cinta”, masih ada judul-judul lainnya Seperti berikut ini:
II.                Serenada Jakarta
III.             Alyesha Tak Mau Tidur
IV.             Déjà vu
V.                Lagu Malam Braga
VI.             Menemani Ayah Merokok
VII.          Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis
VIII.       Pelupuk Mata
IX.             RasaTakut
X.                Tulang Rusuk
XI.             Abu Jenazah Ayah
.....
BAB II
ISI

Sebagai seorang pembaca yang awam akan dunia sastra, saya mencoba mengulas karya dari cerpenis Kurnia Effendi yaitu Sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul Senapan Cinta. Sebuah judul yang memang mewakili keseluruhan isi yang bernafaskan cinta. Pertama kali kubaca “Relung Telinga”, langsung saya jatuh hati dengan untaian kata yang indah yang membuat terhanyut dengan kata-kata “aku akan selau mencintaimu dan tidak akan pernah melupakanmu.” Seperti halnya cerpen-cerpen lainnya yang terkumpul dalam buku “Burung Kolibri dan Merah Dadu”, “Kincir Api”, “Bercinta di Bawah Bulan”, dan masih ada kumcer lainnya yang dibalut dengan gaya bahasa romantis dan puitis begitupun dengan Senapan Cinta.
Sebelum masuk pada inti pembahasan ada baiknya saya mencoba menyusuri unsur-unsur yang menjadi pembangun dalam cerpen-cerpennya.

1.      Tema, karakter, amanat

Tema yang diangkat dalam masing-masing cerpen yang terkumpul dalam kumcer Senapan Cinta selalu melibatkan emosi, baik rasa cinta dan kesetiaan (“Relung Telinga” dan “Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis”), pengembaraan di dunia imajinasi (“Alyesha Tidak mau Tidur”), kenangan masa lalu (“Malam di Braga”), aspek psikologi bagaimana pengarang menuangkan sisi baik dan sisi buruknya (alter ego) (“Laras Panjang Senapan Cinta” dan “Déjà vu”), persahabatan, kematian (“Pelupuk Mata”, “Abu Jenazah Ayah” dan “Menemani Ayah Merokok”) sosial (“Serenada Jakarta”).  Namun di antara 12 judul cerpen yang dimuat dalam Kumcer Senapan Cinta ini tema yang sering muncul ke permukaan adalah hal yang berkaitan dengan kematian (“Relung Telinga”, “Serenada Jakarta”, “Aleysa Tidak Mau Tidur”, “Laras Panjang Senapan Cinta”, “Pelupuk Mata”, “Abu Jenazah Ayah”),  sebagaimana cerpen-cerpen Kurnia Effendi lainnya (“Terompet”, “Ikebana Bagi Calon Mama”: cerpen dalam Tukang bunga dan Burung Gagak) yang selalu mengusung romantisme dan kematian memang benar-benar sudah menjadi brand image (ciri khas), bahkan ada beberapa pesan yang ingin disampaikannya seakan absurd dan tidak lazim seperti halnya “Tulang Rusuk” dan “Rasa takut.” Dan untuk mengemas ke absurdannya terkadang pengarang menyelipkan kata-kata jenaka seperti pada cerpen “Tulang Rusuk” dan “Abu Jenazah Ayah”. “Dalam Tulang Rusuk”, Haikal melakukan hal yang tidak lazimnya (mencari tulang rusuk yang akan dipatahkan) masih mendengar siaran televisi sedangkan pada “Abu Jenazah Ayah.” dalam menuju kematiannya teringat pada sahabatnya Agni dan Banu yang lupa belum dikirimi pesan singkat (sms).

Tema cinta dan kesetiaan begitu kental dilekatkan dalam cerpennya yang berjudul “Relung Telinga” dan “Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis”.
Dalam cerpen “Relung Telinga” pengarang benar-benar mengisahkan kesetiaannya sebagai suami yang sangat mencintai  isterinya yang mengidap suatu penyakit pada bagian yang paling ringkih (rahim) bahkan divonis tidak akan dapat memiliki keturunan, namun sang suami tetap berazam akan tetap mencintai isterinya bahkan tak pernah terbersit dalam hatinya untuk sekali saja melupakannya. Pada suatu ketika pada sebuah senja hujan yang mengguyur bumi di sebuah kafe sang suami diuji kesetiaannya oleh wangi parfum seorang wanita berleher jenjang dengan juntaian scraft di punggungnya betis langsing berwarna dukuhnya dan kelingking berwarna jingganya membuat dadanya berdebar. Di saat yang sama sang suami teringat akan setiap kata-katanya yang selalu dibisikkan di relung telinga isterinya bahwa dia akan selalu mencintainya. Kembali berkecamuk dalam dadanya bahwa kesetiaan telah memenjarakannya, walau demikian kekuatan cinta telah membuatnya menerobos lebatnya hujan untuk segera menemui sang isteri tercinta dan sekuat tenaga menepis semua bayangan wanita berleher jenjang dengan scraft yang melayang di balik punggungnya sang suami merasa sangat bersalah dengan kejadian yang dialaminya. Sesampainya di rumah ia temui isterinya yang sudah tak bernyawa. Dan ia bisikkan di relung telinga isterinya untuk terakhir kali “Aku akan selalu mencintaimu, dan tak akan pernah melupakanmu.”
Begitupun dalam cerpennya “Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis” di sini pengarang kembali menjiwai kesetiaannya terhadap isteri yang ditinggalkan di saat dipertemukan dengan gadis waitress sebuah kafe Starbucks Coffee yang ternyata diam-diam mengaguminya di saat menikmati kopinya. Namun sebelum meninggalkan gadis yang bernama Rohayati, Oh Chol Su nama yang diambil pengarang sebagai Sang Lelaki dalam Gerimis sempat memberikan sebuah cendera mata yang ternyata adalah sebuah buku kumpulan puisi “The Man Who Dissapeared in The Rain”, sebuah antologi puisi Najma Amtanifa.
Dari dua cerpen di atas pengarang berhasil membuat karakter pada tokoh sebagai seseorang yang setia dan penuh cinta pada keluarga walau tak bisa dipungkiri fitrahnya sebagai laki-laki yang selalu tertarik pada wanita. Setting tempat yang diambil keduanya adalah kafe. Amanat apa yang ingin disampaikan penulis selain harus setia pada pasangan berkenaan dengan kafe, mungkin tempat ini pula yang rentan dengan godaannya.
Alter ego (disambuigitas personel) pun bermain dalam judul “Laras Panjang Senapan Cinta” dan “Déjà vu”. Dalam “Laras Panjang Senapan Cinta” pengarang muncul sebagai penduduk sebuah pedesaan yang dikejutkan dengan bunyi letupan senjata yang tiba-tiba menguraikan bulu-bulu seekor burung yang beterbangan tanpa diketahui asalnya. Namun setelah keterkejutan, disusul dengan sosok pemburu yang tiba-tiba berucap minta ijin lewat. Pemburu itu mengaku sebagai seorang pecinta yang sedang mencari seseorang yang akan menjadi isterinya yang baru saja dikirim dari langit untuknya. Padahal pandangan penduduk desa yang menggantung dipunggungnya adalah seekor burung bukanlah seorang wanita. Yang kemudian setelah mengikuti perginya sang pemburu ke tengah hutan justru yang jadi buruan wanita yang menggantung di punggung pemburu adalah dirinya sendiri. (alter ego di sini adalah bagian dari dirinya bisa jadi yang disangkakan di hadapannya). Karena pada awal cerita ada semacam latar belakang laki-laki yang patah hati.
Dalam “Déjà vu”, pengarang jelas-jelas menghadirkan kenangan masa lalunya melalui tokoh sebagai penumpang yang bernama Golly dalam kendaraan pribadinya. Yang tanpa disadarinya tokoh itu adalah alter ego dirinya di masa lalu sebagai penjaga gawang yang harus memperjuangkan antara suara nurani untuk mempertahankan keloyalan terhadap klub sepakbolanya dan realita kehidupan ekonomi keluarganya dimana ia harus membiayai perawatan anak dan istrinya di saat diiming-imingi sejumlah uang tiga puluh ribu dolar oleh tim lawan supaya tidak menangkap bola di saat tim lawan menggolkan. Dengan cara memilih ke kanan di saat bola masuk dari sebelah kiri (alter ego bermain di sini). Yang di akhir cerita pengarang memberikan pilihan antara kanan dan kiri, hal ini bisa jadi ada makna tersembunyi akan sebuah filosofi hidup yang tak lepas dari sifat baik dan buruk.
Sementara pada Laras Panjang dan Déjà vu ada tema psikologis dimana setiap manusia mempunyai sisi baik dan sisi buruk yang suatu saat dihadapkan pada keduanya.
Dalam “Alyesha tak Mau Tidur” pengarang menyelipkan pengembaraannya di alam lain di mana Alyesha sebagai tokohnya pernah mengalami koma beberapa kali karena kecelakaan pada kepalanya yang terbentur yaitu pada usia lima tahun, sembilan tahun dan di saat remaja ketika pesawat yang membawa dirinya harus landing bukan pada tempatnya. Alyesha berkenalan dengan sosok Alfabeth dari alam lain yang sering dituliskan dalam diarynya yang kemudian sosok itu dia namai dengan sebutan Alfonso yang pada akhir menghembuskan nafasnya Alfonso jua yang merenggut kegadisan Alyesha.
Pada cerpen yang ini seolah pengarang ingin memperkenalkan bahwa ada dunia lain yang memang bersinggungan dengan hidup dunia nyata di saat manusia ada pada titik tertentu. Seperti halnya Alyesha yang sedang mengalami koma, maka Alfonso menjelma sebagai sosok sunyi yang ingin bersahabat.
Pengarang dalam cerpen “Serenada Jakarta” nampak sekali ingin menyampaikan pesan sosial tentang hiruk pikuknya kota Jakarta, di mana pengarang sangat paham sekali dengan hingar bingarnya karena memang bertempat tinggal di Kota Jakarta. Sebagai kota metropolitan tentunya mau tak mau tidak menerima kehadiran kehidupan yang kumuh, dengan menampilkan sosok Lini sebagai gadis pemulung yang tertindas keegoaan kakaknya yang demi uang ia rela mengorbankan kegadisan adiknya pada pimpinan preman yang bernama Ramong dan Diyan sebagai mahasiswa ITB yang sedang menuntaskan tugas akhirnya di Jurusan Seni yang gagal sebagai pahlawan bagi Lini karena di akhir cerita desa kumuh itu sudah didapatkan rata dengan tanah untuk pembangunan sebuah proyek kaum penguasa.
“Lagu malam di Braga” adalah cerpen yang benar-benar déjà vu dari pengarang yang seolah-olah ingin bernostalgia dengan tempat-tempat yang sengaja menjadi setting dalam cerpennya seperti halnya setiap tempat disebut tanpa ada yang salah dalam menamainya yang tak terlepas dari balutan fitrahnya sebagai seorang pria yang merindukan 2 wanita yang pernah menjalin kasih (seperti Inna, dan Anne) berhasil membuat dia sebagai orang yang benar-benar kesepian dengan berkawan minuman yang tidak membuatnya menambah halusinasi. Seperti 2 cerpen sebelumnya “Relung Telinga” dan “Lelaki yang Menghilang Dalam Gerimis” istilah kafe dan gadis selalu dimunculkan di cerpen “Lagu Malam di Braga”pun hal tersebut diulas lagi dengan istilah discoutic dan gadis yang bernama Popy sebagai pekerja discoutic. Keahlian dalam melukis juga disertakan sebagai profesinya sebagaimana diselipkan dalam “Serenada Jakarta” di mana tokoh utamanya Diyan juga adalah mahasiswa Jurusan Seni Lukis. Namun penulis begitu apiknya mengemas fitrah sebagai laki-lakinya dengan membalut kesetiaannya dengan mengingat sang buah hati bernama Tifa.
Serenada Jakarta dan Lagu Malam di Braga dua cerpen yang bersuasana sama dimana tokohnya sama-sama pelukis sebagaimana pengarang adalah lulusan FSRD ITB dan bertempat tinggal di Jakarta. Setting tempat yang begitu paham dengan suasana kota Jakarta dan Braga
“Menemani Ayah Merokok” dan “Abu Jenazah Ayah” mengusung tema kerinduan akan sosok ayah, keduanya di balut dengan tema kematian. “Dalam Menemani Ayah Merokok” Taufan begitulah pengarang menamakan tokoh utamanya, ayahnya meninggal di hadapannya setelah sama-sama merokok. Di sini ada bakti seorang anak yang tak mau lepas meninggalkan ayah dalam keadaan sakit keras dan tak ingin mengecewakannya sampai-sampai merokokpun ditemaninya sampai akhir hayat tiba. Namun pada “Abu Jenazah Ayah” pengarang menaburkan abu jenazah ayah di sungai Kalimas di mana abu ibunya bersemayam dan tokoh utamanya ikut menjadi teman ayahnya yang hanyut di sungai kalimas.
“Pelupuk mata” adalah cerpen yang paling berisi di antara cerpen-cerpen yang bertema kematian. Di sini pengarang benar-benar mencari makna dari setiap kematian yang di alami setiap jenazah yang dilayat melalui tokohnya. Dia berusaha menangkap apa yang menjadi sebab dari kematiannya dan mencoba menyimpulkannya bahwa harus benar-benar punya persiapan dalam menghadapi kematian termasuk kekuatan cinta di saat berusaha mendapat jawab dari rasa takut akan kematian dia sendiri yang masuk dalam pelupuk mata.
“Tulang Rusuk” dan “Rasa Takut” dua cerpen yang menganut ketidaklaziman/keterkejutan (surealis), pengarang seolah penasaran dengan sosok hawa yang memang Tuhan ciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri seorang pria. Di dalam cerpen ini pengarang seakan memberi peluang pada Haikal yang berteman dengan Haris yang terganggu oleh mimpinya untuk melakukan hal diluar kelazimannya dengan mematahkan tulang rusuknya sebagai simbol bahwa tulang rusuk itu akan menjelma sebagai pasangan hidup yang di ilustrasikan dengan kehadiran Sofia secara tiba-tiba, yang memang sebelumnya Sofia hadir dalam mimpi Haikal sebagai seorang gadis yang masih single. Ternyata mendorong Haikal untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Haris. Tulang Rusuk adalah simbol dari pasangan hidup, dan jelas dalam cerpen ini dua tokohnya belum menemukan jodoh. Di awali Haris dengan mematahkan tulang rusuknya yang kemudian secara diam-diam Haikal temannya mencoba mengikuti langkahnya.
Dalam cerpen “Rasa Takut” pengarang sengaja mengisahkan hal yang tak lazim dilakukan hanya untuk melihat kecantikan dari rasa takut tokoh dalam cerpen selalu mencari akal menakut-nakuti. Sampai pada suatu hari ia merasa kehilangan dengan suara telepon pemintaan tolong karena ketakutan. Selama hilangnya gadis penakut itu ternyata diam-diam telah memotong kelenjar rasa takutnya yang diletakkan dalam bejana di meja dekat ranjangnya. Tema yang diusung disini ketidak laziman memotong rasa takut padahal sebenarnya masih dapat diatasi bukan berarti harus memotong kelenjar seperti yang diungkap dalam cerpen ini. Rasa takut adalah salah satu fitrah yang dimiliki manusia yang memang tidak dapat lepas dari kehidupan yang dihasilkan dari suatu kelenjar yang besarnya hanya sebiji kacang kapri. Letaknya persis di atas ginjal. Mereka dipenuhi adrenalin yang - saat disemprotkan ke dalam tubuh Anda - membuat Anda lebih mampu merespon kondisi emergensi. Inilah sisi positifnya, itulah saat di mana Anda punya kemampuan lebih. (sumber: public speakingIndonesia). Sebenarnya rasa takut dapat diatasi dengan berperasaan positif, bukan seperti halnya harus dipotong seperti yang diceritakan melalui cerpen ini. Dari sini dapat disimpulkan bahwa karya yang satu ini mengandung unsur surealis/kejutan/ketidakbiasaan.

2.      Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang romantis dan puitis selalu membuat pembaca terhanyut dalam cerita yang dituturkannya, dan hal itulah yang menjadi brand image dari seorang Kurnia Effendi.
Begitupun dalam senapan cinta pengarang menggunakan gaya bahasa yang sederhana namun tidak sedikit pula yang dibalut dengan gaya bahasa personafikasi dan metafora. Seperti halnya dalam judul “Relung Telinga”, “Laras Panjang Senapan Cinta.” Gaya bahasa yang digunakan mewakili karakter pengarang yang notabene cenderung romantis, hangat dan penuh persahabatan maka tak heran sebagian ka
limat disusunnya secara puitis.
Ada beberapa judul yang berakhir membingungkan seperti halnya “Laras Panjang Senapan Cinta”, “Pelupuk Mata”, “Menemani Ayah Merokok”, “Tulang Rusuk”, “Abu Jenazah Ayah.” dibalik keterperangahan ini justru membuat pembaca jadi multitafsir dan merenung.
3.      Tokoh

Menurut Aminudin salah satu pemerhati sastra dalam sebuah note di media Face book menuliskan, bahwa cerpen yang baik hendaklah mampu membangitkan imajinasi pembaca lebih jauh. Dalam cerpen, pembaca mengira-ngira gambaran tentang jatidiri tokoh sesuai dengan imajinasi pembaca sendiri.

Dalam Senapan Cinta Kurnia Effendi telah mampu menghidupkan tokoh-tokohnya sesuai imajinasi si pembacanya semacam halnya dalam judul “Rasa Takut”, si pembaca berhasil merasa puas setelah apa yang dilakukan si tokoh yang selalu menakuti seorang gadis cantik yang di kemudian hari rasa takutnya berpindah pada dirinya. Atau pada judul “Relung Telinga” si pembaca merasa hancur luluh dengan kesedihan sang suami ketika di dapati istrinya telah meninggal yang selama ini sang suami begitu setia. Dan pada judul “Lagu Malam di Braga” membuat pembaca ikut merasa kesunyian di balik pengkarakteran sang pelukis. Atau pada judul “Alyesha Tidak Bisa Tidur”, pengarang benar-benar membuat yakin pada pengembaraan Alyesha dengan Alfonso sang tokoh yang dimunculkan dari dunia lain semacam casfer.

4.  Sudut Pandang (Point of View).

Point of view berhubungan dengan siapakah yang menceritakan kisah dalam cerpen? Cara yang dipilih oleh pengarang akan menentukan sekali gaya dan corak cerita. Hal ini disebabkan, watak dan pribadi pengarang akan banyak menentukan cerita yang dituturkan pada pembaca. Tiap orang punya pandangan hidup, cara berpikir, kepercayaan, maupun sudut emosi yang berbeda-beda.

Menurut Aminudin  ada empat macam sudut pandang yang sering digunakan oleh pengarang, yaitu sebagai
berikut:

a.             Objective point of view
          Dalam teknik ini, pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti kamu melihat film dalam televisi.

b.             Omniscient point of view
         Ciri omniscient point of view lebih cocok untuk cerita yang bersifat sejarah, edu katif, ataupun humoris.

c.              Point of view orang pertama
         Teknik ini lebih populer dikenal di Indonesia. Teknik ini dikenal pula dengan teknik sudut pandnag “aku”. seperti ini sangat cocok untuk cerpen yang mebceritakan masalah kejiwaan (psikologis) sang tokoh. Pembaca dibawa hanyut dalam setiap gerak emosi sang tokoh.

d.             Point of view orang ketiga
         Teknik biasa digunakan dalam penuturan pengalaman seseorang sebagai pihak ketiga. Jadi, pengarang hanya “menitipkan” pemikirannya dalam tokoh orang ketiga.

Dari keempat sudut pandang di atas Kurnia effendi dalam Senapan cintanya banyak menggunakan sudut pandang point of view orang pertama dan selebihnya menggunakan objective point of view terbukti dengan kesukaannya akan film-film dan lagu–lagu yang romantis seperti dalam cerpen “Déjà vu” menyetir sambil mendengar lagunya Dave Valentine dan “Alyesha Tidak Mau Tidur” ada potongan lagunya Lee Alexander “Lonestar” yang dinyanyikan Norah Jones serta dalam “Abu Jenazah Ayah” mengenang film Meryl Streep “The Bridge Madison County”. yang begitu pandainya dikemas sebagai sumber inspirasi dalam cerita-ceritanya dan dua cerpen yang hanya meggunakan sudut pandang ia (orang ketiga) yaitu “Lagu Malam di Braga” dan “Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis.”

5.    Setting
Cerpenis-cerpenis Indonesia banyak yang mempunyai ciri tertentu karena pemilihan settingnya saja. Contohnya, Pramoedya Ananta Toer yang kental dengan gaya setting cerpennya yang penuh unsur sejarah dan kondisi sosial mayarakat. Selain itu, cerpenis Ahmad Tohari dengan lihai mampu menggambarkan setting pedesaan yang penuh dengan segala keindahan dan perilaku sosial masyarakat dusun/kelas bawah.



Ada pula cerpenis S.M. Ardan yang terkenal sebagai penulis dengan setting Betawi. Cerpen-cerpennya mampu menggambarkan kehidupan khas rakyat kecil Betawi, gaya bahasa rakyat kecil yang jujur tanpa menghiraukan sopan santun umum-nya.

Begitupun dengan Kurnia Effendi yang berlatar pendidikan di FSRD ITB (Institut Teknologi Bandung), bekerja di sebuah perusahaan Automotif Suzuki, dan  selebihnya bergiat di komunitas sastra dan kepenulisan. Mampu menggambarkan hiruk pikuknya kota Jakarta dalam “Serenada Jakarta”, dan mampu bernostalgia pula dengan Braga yang Letaknya di Bandung dengan menyebutkan nama-nama tempat dengan  begitu detailnya dalam cerpen “Lagu Malam di Braga”, dan sebagai karyawan dari perusahaan Automotif seorang Kurnia Effendipun mampu mendeskripsikan kesehariaannya yang selalu bersentuhan dengan kafe, jalanan, gedung-gedung, sebagai seorang yang sering mengkomodasi pesawat mengilustrasikan  kondisi sebuah pesawat dan rumah sakit (“Alyesha Tidak mau Tidur”). Dan judul yang lainnya tenggelam dalam dunia imajinasi sebagai pengembaraan jiwa kepenulisannya.

6.        Konflik
       Mengenai unsur konflik dalam Senapan Cinta terletak pada pertentangan bathin dimana si pelaku /tokoh dalam cerpen di hadapkan lebih pada sikap yang harus diambil. Kecuali pada Serenada Jakarta dihadirkan tokoh antagonis seperti Ramong dan kakaknya Lini (gadis pemulung).


****





BAB III
KESIMPULAN

Setelah menelaah satu demi satu judul cerpen yang ada dalam Senapan Cinta, saya berkesimpulan bahwa karya Kurnia Effendi adalah sebuah karya yang komplikatif yang di dalamnya penuh gejolak jiwa (ekspresionis). Dari beberapa judul memang banyak menggunakan gaya bahasa romantis namun di samping keromantisannya ternyata merupakan letupan-letupan jiwa yang peka semacam halnya dihadapkan pada sebuah kenyataan yang ada (realis) di sebuah kota semacam bentuk ketidaksetujuannya dengan adannya penggusuran tanah melalui “Serenada Jakarta” yang mau tak mau seperti itulah adanya dituangkan dalam cerpen yang sangat menggugah rasa di mana selalu ada saja ketidakadilan bagi kaum yang terpinggirkan. Dan cukup pandai pula mengemas cerita dengan gaya surealis sehingga pembaca tak sedikit mendapat kejutan-kejutan dari akhir ceritanya. Namun yang tidak kalah menariknya dalam cerpen-cerpennya selalu ada tema tentang kematian di mana ada amanat yang kuat untuk tetap mengingat hal yang satu yaitu kematian dan mulai mempersiapkan perbekalan untuk menuju ke arah sana (idealisme).
***
Nama lengkap Elis Tating Bardiah. Lahir di Bandung tahun 1978, lulusan UPI tahun 2002 Jurusan Akuntansi adalah seorang pengajar di sebuah SMA di Bandung. Tertarik menulis di pertengahan tahun 2009. Bergiat di Majelis Sastra Bandung pada awal tahun 2010. Karyanya banyak di-share di akun facebook dan blog pribadinya http://www.raudhohqolbu.blogspot.com. Suka membaca puisi dari usia SD dan tertarik menulis di pertengahan tahun 2009. Bergiat di Majelis Sastra Bandung. Juara II Lomba Membuat Puisi berlatar Mesir 2011. Buku yang diendorse-nya “Merancang Masa Depan si Buah Hati” (2010), Novel Pencari Cinta (2012), dan Safir Cinta (2012). Karya Puisi dan Cerpennya  terkumpul dalam antologi  bersama; Ketika Penyair Bercinta (2010), Selaksa Makna Ramadhan (2010), Bersama Gerimis (2011), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kepingan Kehidupan (2011), Hati Perempuan (2011), Suluk Mataram (2011), Kartini 2012 (2012). Rumahku Rumahmu Juga (2012). Meretas Karya Anak Bangsa (2012). Senandung Ramadhan (2012). Nominator lomba cerpen bertema Disabilitas (2012). Kisah Yang Hilang (2012). Termasuk ke dalam Pengarang dan Penulis Perempuan Indonesia 2012. Redaktur buletin internal Jendela Al Fatwa. Cerpen, Essai, dan artikelnya pernah dimuat di Majalah Story, Lapak Kata, Buletin Halaman Pantai Padang dan  di media online www.eramuslim.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar