Ringkasannya pernah diminta untuk dimuat oleh Editor Buletin Halaman Pantai-Padang pada tahun 2010 dan pernah diikutkan pada Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) yang diselenggarakan Kemendiknas.
^^^^
Tak
sekadar Romantis
ULASAN KUMPULAN CERPEN
SENAPAN
CINTA
Karya: Kurnia Effendi
Oleh: Elis Tating Bardiah, S.Pd
BAB I
ABSTRAKSI
Laras Panjang Senapan Cinta
Pengarang
muncul sebagai penduduk sebuah pedesaan yang dikejutkan dengan bunyi letupan
senjata, dzrepp! Letup dengan desibel
rendah tiba-tiba menguraikan bulu-bulu seekor burung yang beterbangan tanpa
diketahui asalnya. Namun setelah keterkejutan, disusul dengan sosok pemburu
yang tiba-tiba berucap minta ijin lewat. Pemburu itu mengaku sebagai seorang
pecinta yang sedang mencari seseorang yang akan menjadi pasangan hidupnya yang
baru saja dikirim dari langit untuknya. Padahal menurut pandangan penduduk desa,
yang menggantung dipunggungnya hanyalah seekor burung bukanlah seorang wanita.
Yang kemudian setelah mengikuti perginya sang pemburu ke tengah hutan justru
yang jadi buruan wanita yang menggantung di punggung pemburu tadi adalah
dirinya sendiri.
Paragraf
di atas merupakan potongan cerpen “Laras Panjang Senapan Cinta” salah satu cerpen yang dijadikan judul utama Senapan Cinta Karya Kurnia Effendi.
Selain “Laras Panjang Senapan Cinta”, masih ada judul-judul lainnya Seperti
berikut ini:
II.
Serenada Jakarta
III.
Alyesha Tak Mau Tidur
IV.
Déjà vu
V.
Lagu Malam Braga
VI.
Menemani Ayah Merokok
VII.
Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis
VIII. Pelupuk
Mata
IX.
RasaTakut
X.
Tulang Rusuk
XI.
Abu Jenazah Ayah
.....
BAB
II
ISI
Sebagai
seorang pembaca yang awam akan dunia sastra, saya mencoba mengulas karya dari
cerpenis Kurnia Effendi yaitu Sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul Senapan Cinta. Sebuah judul yang memang
mewakili keseluruhan isi yang bernafaskan cinta. Pertama kali kubaca “Relung
Telinga”, langsung saya jatuh hati dengan untaian kata yang indah yang membuat
terhanyut dengan kata-kata “aku akan
selau mencintaimu dan tidak akan pernah melupakanmu.” Seperti halnya
cerpen-cerpen lainnya yang terkumpul dalam buku “Burung Kolibri dan Merah
Dadu”, “Kincir Api”, “Bercinta di Bawah Bulan”, dan masih ada kumcer lainnya
yang dibalut dengan gaya bahasa romantis dan puitis begitupun dengan Senapan Cinta.
Sebelum
masuk pada inti pembahasan ada baiknya saya mencoba menyusuri unsur-unsur yang
menjadi pembangun dalam cerpen-cerpennya.
1.
Tema,
karakter, amanat
Tema yang diangkat dalam masing-masing cerpen yang terkumpul dalam kumcer Senapan Cinta selalu melibatkan emosi, baik rasa cinta dan kesetiaan (“Relung Telinga” dan “Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis”), pengembaraan di dunia imajinasi (“Alyesha Tidak mau Tidur”), kenangan masa lalu (“Malam di Braga”), aspek psikologi bagaimana pengarang menuangkan sisi baik dan sisi buruknya (alter ego) (“Laras Panjang Senapan Cinta” dan “Déjà vu”), persahabatan, kematian (“Pelupuk Mata”, “Abu Jenazah Ayah” dan “Menemani Ayah Merokok”) sosial (“Serenada Jakarta”). Namun di antara 12 judul cerpen yang dimuat dalam Kumcer Senapan Cinta ini tema yang sering muncul ke permukaan adalah hal yang berkaitan dengan kematian (“Relung Telinga”, “Serenada Jakarta”, “Aleysa Tidak Mau Tidur”, “Laras Panjang Senapan Cinta”, “Pelupuk Mata”, “Abu Jenazah Ayah”), sebagaimana cerpen-cerpen Kurnia Effendi lainnya (“Terompet”, “Ikebana Bagi Calon Mama”: cerpen dalam Tukang bunga dan Burung Gagak) yang selalu mengusung romantisme dan kematian memang benar-benar sudah menjadi brand image (ciri khas), bahkan ada beberapa pesan yang ingin disampaikannya seakan absurd dan tidak lazim seperti halnya “Tulang Rusuk” dan “Rasa takut.” Dan untuk mengemas ke absurdannya terkadang pengarang menyelipkan kata-kata jenaka seperti pada cerpen “Tulang Rusuk” dan “Abu Jenazah Ayah”. “Dalam Tulang Rusuk”, Haikal melakukan hal yang tidak lazimnya (mencari tulang rusuk yang akan dipatahkan) masih mendengar siaran televisi sedangkan pada “Abu Jenazah Ayah.” dalam menuju kematiannya teringat pada sahabatnya Agni dan Banu yang lupa belum dikirimi pesan singkat (sms).
Tema cinta dan kesetiaan begitu kental dilekatkan dalam cerpennya yang berjudul “Relung Telinga” dan “Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis”.
Dalam
cerpen “Relung Telinga” pengarang benar-benar mengisahkan kesetiaannya sebagai
suami
yang sangat mencintai isterinya yang
mengidap suatu penyakit pada bagian yang paling ringkih (rahim) bahkan divonis
tidak akan dapat memiliki keturunan, namun sang suami tetap berazam akan tetap
mencintai isterinya bahkan tak pernah terbersit dalam hatinya untuk sekali saja
melupakannya. Pada suatu ketika pada sebuah senja hujan yang mengguyur bumi di
sebuah kafe sang suami diuji kesetiaannya oleh wangi parfum seorang wanita
berleher jenjang dengan juntaian scraft
di punggungnya betis langsing berwarna dukuhnya dan kelingking berwarna
jingganya membuat dadanya berdebar. Di saat yang sama sang suami teringat akan
setiap kata-katanya yang selalu dibisikkan di relung telinga isterinya bahwa
dia akan selalu mencintainya. Kembali berkecamuk dalam dadanya bahwa kesetiaan
telah memenjarakannya, walau demikian kekuatan cinta telah membuatnya menerobos
lebatnya hujan untuk segera menemui sang isteri tercinta dan sekuat tenaga
menepis semua bayangan wanita berleher jenjang dengan scraft yang melayang di
balik punggungnya sang suami merasa sangat bersalah dengan kejadian yang
dialaminya. Sesampainya di rumah ia temui isterinya yang sudah tak bernyawa.
Dan ia bisikkan di relung telinga isterinya untuk terakhir kali “Aku akan selalu mencintaimu, dan tak akan
pernah melupakanmu.”
Begitupun
dalam cerpennya “Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis” di sini pengarang
kembali menjiwai kesetiaannya terhadap isteri yang ditinggalkan di saat
dipertemukan dengan gadis waitress
sebuah kafe Starbucks Coffee yang
ternyata diam-diam mengaguminya di saat menikmati kopinya. Namun sebelum
meninggalkan gadis yang bernama Rohayati, Oh Chol Su nama yang diambil
pengarang sebagai Sang Lelaki dalam Gerimis sempat memberikan sebuah cendera
mata yang ternyata adalah sebuah buku kumpulan puisi “The Man Who Dissapeared in The Rain”, sebuah antologi puisi Najma
Amtanifa.
Dari dua cerpen di atas pengarang
berhasil membuat karakter pada tokoh sebagai seseorang yang setia dan penuh
cinta pada keluarga walau tak bisa dipungkiri fitrahnya sebagai laki-laki yang
selalu tertarik pada wanita. Setting tempat yang diambil keduanya adalah kafe.
Amanat apa yang ingin disampaikan penulis selain harus setia pada pasangan
berkenaan dengan kafe, mungkin tempat ini pula yang rentan dengan godaannya.
Alter ego (disambuigitas personel) pun bermain
dalam judul “Laras Panjang Senapan Cinta” dan “Déjà vu”. Dalam “Laras Panjang
Senapan Cinta” pengarang muncul sebagai penduduk sebuah pedesaan yang
dikejutkan dengan bunyi letupan senjata yang tiba-tiba menguraikan bulu-bulu
seekor burung yang beterbangan tanpa diketahui asalnya. Namun setelah
keterkejutan, disusul dengan sosok pemburu yang tiba-tiba berucap minta ijin
lewat. Pemburu itu mengaku sebagai seorang pecinta yang sedang mencari seseorang
yang akan menjadi isterinya yang baru saja dikirim dari langit untuknya.
Padahal pandangan penduduk desa yang menggantung dipunggungnya adalah seekor
burung bukanlah seorang wanita. Yang kemudian setelah mengikuti perginya sang
pemburu ke tengah hutan justru yang jadi buruan wanita yang menggantung di
punggung pemburu adalah dirinya sendiri. (alter
ego di sini adalah bagian dari dirinya bisa jadi yang disangkakan di
hadapannya). Karena pada awal cerita ada semacam latar belakang laki-laki yang
patah hati.
Dalam
“Déjà vu”, pengarang jelas-jelas menghadirkan kenangan masa lalunya melalui
tokoh sebagai penumpang yang bernama Golly dalam kendaraan pribadinya. Yang
tanpa disadarinya tokoh itu adalah alter
ego dirinya di masa lalu sebagai penjaga gawang yang harus memperjuangkan
antara suara nurani untuk mempertahankan keloyalan terhadap klub sepakbolanya
dan realita kehidupan ekonomi keluarganya dimana ia harus membiayai perawatan
anak dan istrinya di saat diiming-imingi sejumlah uang tiga puluh ribu dolar oleh
tim lawan supaya tidak menangkap bola di saat tim lawan menggolkan. Dengan cara
memilih ke kanan di saat bola masuk dari sebelah kiri (alter ego bermain di sini). Yang di akhir cerita pengarang
memberikan pilihan antara kanan dan kiri, hal ini bisa jadi ada makna
tersembunyi akan sebuah filosofi hidup yang tak lepas dari sifat baik dan
buruk.
Sementara pada Laras Panjang dan
Déjà vu ada tema psikologis dimana setiap manusia mempunyai sisi baik dan sisi
buruk yang suatu saat dihadapkan pada keduanya.
Dalam
“Alyesha tak Mau Tidur” pengarang menyelipkan pengembaraannya di alam lain di
mana Alyesha sebagai tokohnya pernah mengalami koma beberapa kali karena
kecelakaan pada kepalanya yang terbentur yaitu pada usia lima tahun, sembilan
tahun dan di saat remaja ketika pesawat yang membawa dirinya harus landing
bukan pada tempatnya. Alyesha berkenalan dengan sosok Alfabeth dari alam lain
yang sering dituliskan dalam diarynya yang kemudian sosok itu dia namai dengan
sebutan Alfonso yang pada akhir menghembuskan nafasnya Alfonso jua yang
merenggut kegadisan Alyesha.
Pada cerpen yang ini seolah
pengarang ingin memperkenalkan bahwa ada dunia lain yang memang bersinggungan
dengan hidup dunia nyata di saat manusia ada pada titik tertentu. Seperti
halnya Alyesha yang sedang mengalami koma, maka Alfonso menjelma sebagai sosok
sunyi yang ingin bersahabat.
Pengarang
dalam cerpen “Serenada Jakarta” nampak sekali ingin menyampaikan pesan sosial
tentang hiruk pikuknya kota Jakarta, di mana pengarang sangat paham sekali
dengan hingar bingarnya karena memang bertempat tinggal di Kota Jakarta.
Sebagai kota metropolitan tentunya mau tak mau tidak menerima kehadiran
kehidupan yang kumuh, dengan menampilkan sosok Lini sebagai gadis pemulung yang
tertindas keegoaan kakaknya yang demi uang ia rela mengorbankan kegadisan
adiknya pada pimpinan preman yang bernama Ramong dan Diyan sebagai mahasiswa
ITB yang sedang menuntaskan tugas akhirnya di Jurusan Seni yang gagal sebagai
pahlawan bagi Lini karena di akhir cerita desa kumuh itu sudah didapatkan rata
dengan tanah untuk pembangunan sebuah proyek kaum penguasa.
“Lagu
malam di Braga” adalah cerpen yang benar-benar déjà vu dari pengarang yang
seolah-olah ingin bernostalgia dengan tempat-tempat yang sengaja menjadi
setting dalam cerpennya seperti halnya setiap tempat disebut tanpa ada yang
salah dalam menamainya yang tak terlepas dari balutan fitrahnya sebagai seorang
pria yang merindukan 2 wanita yang pernah menjalin kasih (seperti Inna, dan
Anne) berhasil membuat dia sebagai orang yang benar-benar kesepian dengan
berkawan minuman yang tidak membuatnya menambah halusinasi. Seperti 2 cerpen
sebelumnya “Relung Telinga” dan “Lelaki yang Menghilang Dalam Gerimis” istilah
kafe dan gadis selalu dimunculkan di cerpen “Lagu Malam di Braga”pun hal tersebut
diulas lagi dengan istilah discoutic
dan gadis yang bernama Popy sebagai pekerja discoutic. Keahlian dalam melukis
juga disertakan sebagai profesinya sebagaimana diselipkan dalam “Serenada
Jakarta” di mana tokoh utamanya Diyan juga adalah mahasiswa Jurusan Seni Lukis.
Namun penulis begitu apiknya mengemas fitrah sebagai laki-lakinya dengan
membalut kesetiaannya dengan mengingat sang buah hati bernama Tifa.
Serenada Jakarta dan Lagu Malam di
Braga dua cerpen yang bersuasana sama dimana tokohnya sama-sama pelukis
sebagaimana pengarang adalah lulusan FSRD ITB dan bertempat tinggal di Jakarta.
Setting tempat yang begitu paham dengan suasana kota Jakarta dan Braga
“Menemani
Ayah Merokok” dan “Abu Jenazah Ayah” mengusung tema kerinduan akan sosok ayah,
keduanya di balut dengan tema kematian. “Dalam Menemani Ayah Merokok” Taufan
begitulah pengarang menamakan tokoh utamanya, ayahnya meninggal di hadapannya
setelah sama-sama merokok. Di sini ada bakti seorang anak yang tak mau lepas
meninggalkan ayah dalam keadaan sakit keras dan tak ingin mengecewakannya
sampai-sampai merokokpun ditemaninya sampai akhir hayat tiba. Namun pada “Abu
Jenazah Ayah” pengarang menaburkan abu jenazah ayah di sungai Kalimas di mana
abu ibunya bersemayam dan tokoh utamanya ikut menjadi teman ayahnya yang hanyut
di sungai kalimas.
“Pelupuk
mata” adalah cerpen yang paling berisi di antara cerpen-cerpen yang bertema
kematian. Di sini pengarang benar-benar mencari makna dari setiap kematian yang
di alami setiap jenazah yang dilayat melalui tokohnya. Dia berusaha menangkap
apa yang menjadi sebab dari kematiannya dan mencoba menyimpulkannya bahwa harus
benar-benar punya persiapan dalam menghadapi kematian termasuk kekuatan cinta
di saat berusaha mendapat jawab dari rasa takut akan kematian dia sendiri yang
masuk dalam pelupuk mata.
“Tulang
Rusuk” dan “Rasa Takut” dua cerpen yang menganut ketidaklaziman/keterkejutan (surealis), pengarang seolah penasaran
dengan sosok hawa yang memang Tuhan ciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri
seorang pria. Di dalam cerpen ini pengarang seakan memberi peluang pada Haikal
yang berteman dengan Haris yang terganggu oleh mimpinya untuk melakukan hal
diluar kelazimannya dengan mematahkan tulang rusuknya sebagai simbol bahwa
tulang rusuk itu akan menjelma sebagai pasangan hidup yang di ilustrasikan
dengan kehadiran Sofia secara tiba-tiba, yang memang sebelumnya Sofia hadir
dalam mimpi Haikal sebagai seorang gadis yang masih single. Ternyata mendorong
Haikal untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Haris. Tulang Rusuk
adalah simbol dari pasangan hidup, dan jelas dalam cerpen ini dua tokohnya
belum menemukan jodoh. Di awali Haris dengan mematahkan tulang rusuknya yang
kemudian secara diam-diam Haikal temannya mencoba mengikuti langkahnya.
Dalam
cerpen “Rasa Takut” pengarang sengaja mengisahkan hal yang tak lazim dilakukan
hanya untuk melihat kecantikan dari rasa takut tokoh dalam cerpen selalu
mencari akal menakut-nakuti. Sampai pada suatu hari ia merasa kehilangan dengan
suara telepon pemintaan tolong karena ketakutan. Selama hilangnya gadis penakut
itu ternyata diam-diam telah memotong kelenjar rasa takutnya yang diletakkan
dalam bejana di meja dekat ranjangnya. Tema yang diusung disini ketidak laziman
memotong rasa takut padahal sebenarnya masih dapat diatasi bukan berarti harus
memotong kelenjar seperti yang diungkap dalam cerpen ini. Rasa takut adalah
salah satu fitrah yang dimiliki manusia yang memang tidak dapat lepas dari
kehidupan yang dihasilkan dari suatu kelenjar yang besarnya hanya sebiji
kacang kapri. Letaknya persis di atas ginjal. Mereka dipenuhi adrenalin yang -
saat disemprotkan ke dalam tubuh Anda - membuat Anda lebih mampu merespon
kondisi emergensi. Inilah sisi positifnya, itulah saat di mana Anda punya
kemampuan lebih. (sumber: public
speakingIndonesia). Sebenarnya rasa
takut dapat diatasi dengan berperasaan positif, bukan seperti halnya harus
dipotong seperti yang diceritakan melalui cerpen ini. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa karya yang satu ini mengandung unsur surealis/kejutan/ketidakbiasaan.
2. Gaya Bahasa
Gaya
bahasa yang romantis dan puitis selalu membuat pembaca terhanyut dalam cerita
yang dituturkannya, dan hal itulah yang menjadi brand image dari seorang Kurnia Effendi.
Begitupun
dalam senapan cinta pengarang menggunakan gaya bahasa yang sederhana namun
tidak sedikit pula yang dibalut dengan gaya bahasa personafikasi dan metafora.
Seperti halnya dalam judul “Relung Telinga”, “Laras Panjang Senapan Cinta.”
Gaya bahasa yang digunakan mewakili karakter pengarang yang notabene cenderung
romantis, hangat dan penuh persahabatan maka tak heran sebagian ka
limat disusunnya secara puitis.
limat disusunnya secara puitis.
Ada
beberapa judul yang berakhir membingungkan seperti halnya “Laras Panjang
Senapan Cinta”, “Pelupuk Mata”, “Menemani Ayah Merokok”, “Tulang Rusuk”, “Abu
Jenazah Ayah.” dibalik keterperangahan ini justru membuat pembaca jadi
multitafsir dan merenung.
3.
Tokoh
Menurut Aminudin salah satu pemerhati sastra dalam sebuah note di media Face book menuliskan, bahwa cerpen yang baik hendaklah mampu membangitkan imajinasi pembaca lebih jauh. Dalam cerpen, pembaca mengira-ngira gambaran tentang jatidiri tokoh sesuai dengan imajinasi pembaca sendiri.
Dalam Senapan Cinta Kurnia Effendi telah mampu menghidupkan tokoh-tokohnya sesuai imajinasi si pembacanya semacam halnya dalam judul “Rasa Takut”, si pembaca berhasil merasa puas setelah apa yang dilakukan si tokoh yang selalu menakuti seorang gadis cantik yang di kemudian hari rasa takutnya berpindah pada dirinya. Atau pada judul “Relung Telinga” si pembaca merasa hancur luluh dengan kesedihan sang suami ketika di dapati istrinya telah meninggal yang selama ini sang suami begitu setia. Dan pada judul “Lagu Malam di Braga” membuat pembaca ikut merasa kesunyian di balik pengkarakteran sang pelukis. Atau pada judul “Alyesha Tidak Bisa Tidur”, pengarang benar-benar membuat yakin pada pengembaraan Alyesha dengan Alfonso sang tokoh yang dimunculkan dari dunia lain semacam casfer.
Menurut Aminudin salah satu pemerhati sastra dalam sebuah note di media Face book menuliskan, bahwa cerpen yang baik hendaklah mampu membangitkan imajinasi pembaca lebih jauh. Dalam cerpen, pembaca mengira-ngira gambaran tentang jatidiri tokoh sesuai dengan imajinasi pembaca sendiri.
Dalam Senapan Cinta Kurnia Effendi telah mampu menghidupkan tokoh-tokohnya sesuai imajinasi si pembacanya semacam halnya dalam judul “Rasa Takut”, si pembaca berhasil merasa puas setelah apa yang dilakukan si tokoh yang selalu menakuti seorang gadis cantik yang di kemudian hari rasa takutnya berpindah pada dirinya. Atau pada judul “Relung Telinga” si pembaca merasa hancur luluh dengan kesedihan sang suami ketika di dapati istrinya telah meninggal yang selama ini sang suami begitu setia. Dan pada judul “Lagu Malam di Braga” membuat pembaca ikut merasa kesunyian di balik pengkarakteran sang pelukis. Atau pada judul “Alyesha Tidak Bisa Tidur”, pengarang benar-benar membuat yakin pada pengembaraan Alyesha dengan Alfonso sang tokoh yang dimunculkan dari dunia lain semacam casfer.
4. Sudut Pandang (Point of View).
Point of view berhubungan dengan siapakah yang menceritakan kisah dalam cerpen? Cara yang dipilih oleh pengarang akan menentukan sekali gaya dan corak cerita. Hal ini disebabkan, watak dan pribadi pengarang akan banyak menentukan cerita yang dituturkan pada pembaca. Tiap orang punya pandangan hidup, cara berpikir, kepercayaan, maupun sudut emosi yang berbeda-beda.
Menurut Aminudin ada empat macam sudut pandang yang sering
digunakan oleh pengarang, yaitu sebagai
berikut:
berikut:
a.
Objective
point of view
Dalam teknik ini, pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti
kamu melihat film dalam televisi.
b.
Omniscient
point of view
Ciri
omniscient point of view lebih cocok untuk cerita yang bersifat sejarah, edu
katif, ataupun humoris.
c.
Point of
view orang
pertama
Teknik ini lebih populer dikenal di Indonesia. Teknik ini dikenal pula
dengan teknik sudut pandnag “aku”. seperti ini sangat cocok untuk cerpen yang
mebceritakan masalah kejiwaan (psikologis) sang tokoh. Pembaca dibawa hanyut
dalam setiap gerak emosi sang tokoh.
d.
Point of
view orang
ketiga
Teknik biasa digunakan dalam penuturan pengalaman seseorang sebagai
pihak ketiga. Jadi, pengarang hanya “menitipkan” pemikirannya dalam tokoh orang
ketiga.
Dari
keempat sudut pandang di atas Kurnia effendi dalam Senapan cintanya banyak menggunakan sudut pandang point of view orang pertama dan
selebihnya menggunakan objective point of
view terbukti dengan kesukaannya akan film-film dan lagu–lagu yang
romantis seperti dalam cerpen “Déjà vu” menyetir sambil mendengar lagunya Dave
Valentine dan “Alyesha Tidak Mau Tidur” ada potongan lagunya Lee Alexander
“Lonestar” yang dinyanyikan Norah Jones serta dalam “Abu Jenazah Ayah”
mengenang film Meryl Streep “The Bridge Madison County”. yang begitu pandainya
dikemas sebagai sumber inspirasi dalam cerita-ceritanya dan
dua cerpen yang hanya meggunakan sudut pandang ia (orang ketiga) yaitu “Lagu
Malam di Braga” dan “Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis.”
5.
Setting
Cerpenis-cerpenis
Indonesia banyak yang mempunyai ciri tertentu karena pemilihan settingnya saja.
Contohnya, Pramoedya Ananta Toer yang kental dengan gaya setting cerpennya yang
penuh unsur sejarah dan kondisi sosial mayarakat. Selain itu, cerpenis Ahmad Tohari
dengan lihai mampu menggambarkan setting pedesaan yang penuh dengan segala
keindahan dan perilaku sosial masyarakat dusun/kelas bawah.
Ada pula cerpenis S.M. Ardan yang terkenal sebagai penulis dengan setting Betawi. Cerpen-cerpennya mampu menggambarkan kehidupan khas rakyat kecil Betawi, gaya bahasa rakyat kecil yang jujur tanpa menghiraukan sopan santun umum-nya.
Begitupun
dengan Kurnia Effendi yang berlatar pendidikan di FSRD ITB (Institut Teknologi
Bandung), bekerja di sebuah perusahaan Automotif Suzuki, dan selebihnya bergiat di komunitas sastra dan
kepenulisan. Mampu menggambarkan hiruk pikuknya kota Jakarta dalam “Serenada
Jakarta”, dan mampu bernostalgia pula dengan Braga yang Letaknya di Bandung dengan
menyebutkan nama-nama tempat dengan
begitu detailnya dalam cerpen “Lagu Malam di Braga”, dan sebagai
karyawan dari perusahaan Automotif seorang Kurnia Effendipun mampu
mendeskripsikan kesehariaannya yang selalu bersentuhan dengan kafe, jalanan,
gedung-gedung, sebagai seorang yang sering mengkomodasi pesawat
mengilustrasikan kondisi sebuah pesawat
dan rumah sakit (“Alyesha Tidak mau Tidur”). Dan judul yang lainnya tenggelam
dalam dunia imajinasi sebagai pengembaraan jiwa kepenulisannya.
6.
Konflik
Mengenai unsur konflik dalam Senapan Cinta
terletak pada pertentangan bathin dimana si pelaku /tokoh dalam cerpen di
hadapkan lebih pada sikap yang harus diambil. Kecuali pada Serenada Jakarta dihadirkan tokoh antagonis seperti Ramong dan
kakaknya Lini (gadis pemulung).
****
BAB III
KESIMPULAN
Setelah
menelaah satu demi satu judul cerpen yang ada dalam Senapan Cinta, saya berkesimpulan bahwa karya Kurnia Effendi adalah
sebuah karya yang komplikatif yang di dalamnya penuh gejolak jiwa (ekspresionis). Dari beberapa judul
memang banyak menggunakan gaya bahasa romantis namun di samping keromantisannya
ternyata merupakan letupan-letupan jiwa yang peka semacam halnya dihadapkan
pada sebuah kenyataan yang ada (realis)
di sebuah kota semacam bentuk ketidaksetujuannya dengan adannya penggusuran
tanah melalui “Serenada Jakarta” yang mau tak mau seperti itulah adanya
dituangkan dalam cerpen yang sangat menggugah rasa di mana selalu ada saja
ketidakadilan bagi kaum yang terpinggirkan. Dan cukup pandai pula mengemas
cerita dengan gaya surealis sehingga
pembaca tak sedikit mendapat kejutan-kejutan dari akhir ceritanya. Namun yang
tidak kalah menariknya dalam cerpen-cerpennya selalu ada tema tentang kematian
di mana ada amanat yang kuat untuk tetap mengingat hal yang satu yaitu kematian
dan mulai mempersiapkan perbekalan untuk menuju ke arah sana (idealisme).
***
Nama
lengkap Elis Tating Bardiah. Lahir
di Bandung tahun 1978, lulusan UPI tahun 2002 Jurusan Akuntansi adalah seorang
pengajar di sebuah SMA di Bandung. Tertarik menulis di pertengahan tahun 2009.
Bergiat di Majelis Sastra Bandung pada awal tahun 2010. Karyanya banyak di-share di akun facebook dan blog pribadinya http://www.raudhohqolbu.blogspot.com.
Suka membaca puisi dari usia SD dan tertarik menulis di pertengahan tahun 2009.
Bergiat di Majelis Sastra Bandung. Juara II Lomba Membuat Puisi berlatar Mesir
2011. Buku yang diendorse-nya
“Merancang Masa Depan si Buah Hati” (2010), Novel Pencari Cinta (2012), dan
Safir Cinta (2012). Karya Puisi dan Cerpennya terkumpul dalam antologi bersama; Ketika Penyair Bercinta (2010),
Selaksa Makna Ramadhan (2010), Bersama Gerimis (2011), Hampir Sebuah Metafora
(2011), Kepingan Kehidupan (2011), Hati Perempuan (2011), Suluk Mataram (2011),
Kartini 2012 (2012). Rumahku Rumahmu Juga (2012). Meretas Karya Anak Bangsa
(2012). Senandung Ramadhan (2012). Nominator lomba cerpen bertema Disabilitas
(2012). Kisah Yang Hilang (2012). Termasuk ke dalam Pengarang dan Penulis
Perempuan Indonesia 2012. Redaktur buletin internal Jendela Al Fatwa. Cerpen,
Essai, dan artikelnya pernah dimuat di Majalah Story, Lapak Kata, Buletin
Halaman Pantai Padang dan di media online www.eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar